Perempuan Mampu Berjuang untuk Tanah Airnya

GARUT — Puncak Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air dihadiri lebih dari 150 perempuan, Minggu 16 Juli 2017 di Hotel Suminar, Garut, Jawa Barat. Acara ini menjadi momen para perempuan pejuang untuk saling memperkuat perjuangan perempuan di kampung-kampung lain.

Sebagai pembicara hadir Aleta Baun dari Mollo Nusa Tenggara Timur, Eva Bande dari Sulawesi Tengah dan Gunarti, Sedulur Sikep dari Pati Jawa Tengah. Perjuangan ketiga perempuan ini telah banyak ditulis media massa dan menginspirasi perempuan lain.

Aleta, dan Gunarti berjuang karena keyakinan yang diturunkan dari leluhurnya bahwa tanah adalah ibu mereka. “Perempuan sangat dekat dengan alam, dekat dengan air dan sumber pangannya,” kata Aleta Baun, penerima penghargaan Goldman Environmental Prize 2013, Minggu.

Perjuangan panjang Aleta bersama perempuan lain berhasil mengusir empat perusahaan tambang marmer yang menggerus gunung-gunung di Mollo. Setelah perusahaan pergi, Aleta kembali memimpin untuk memulihkan bekas pertambangan dengan menanam berbagai pohon.

Bagi Gunarti, laki-laki dan perempuan di Sedulur Sikap berjuang bersama menyelamatkan pegunungan Kendeng dari industri semen. Dalam ajaran Sedulur Sikep bahwa tanah dan air tidak boleh dijual karena harus diwariskan kepada generasi mendatang. Kehadiran pabrik semen yang akan membongkar Kendeng dianggap mengancam tanah dan air untuk anak cucu mereka. “Tanggung jawab menjaga bumi itu ada di pundak istri dan suami,” kata perempuan satu cucu ini. Gunarti mengenalkan pandangan hidup Sedulur Sikep kepada peserta dengan menyanyikan tiga tembang berbahasa Jawa.

Perjuangan Eva Bande meawan perusahaan sawit, berujung pada kriminalisasi dirinya di tahun 2010. Setelah dia bebas melalui grasi presiden, Eva Bande tetap aktif berjuang. Menurut dia, setiap perempuan yang berjuang harus sadar dengan resiko yang dihadapi. Namun seluruh tantangan yang datang membuat perempuan bertambah kuat untuk memimpin. “Pasti banyak kesedihan, kesulitan dan keperihan yang diterima saat menghadapi perusahaan-perusahaan perompak,” kata ibu tiga anak ini. Eva sempat membacakan puisi yang ditulisnya selama dibui.

Kordinator Program Perempuan dan Agraria Sajogyo Institute, Siti Maimunah, mengatakan, gerakan penyelamatan ekologi di Indonesia harus dapat memperbanyak sosok seperti tiga perempuan tersebut. Lembaga swadaya masyarakat, akademisi, atau penggiat ekologi, juga diharapkan dapat membantu memperkuat perempuan-perempuan lain yang sedang berjuang. “Kita harus menunjukkan bahwa perempuan itu mampu berjuang,” kata Maimunah.

Selain karena keterlibatan perempuan masih rendah, kata Maimunah, perempuan mengalami problem berlapis saat berjuang. Mulai tidak ada dukungan keluarga dan stigma buruk dari masyarakat. Maimunah mencontohkan, apa yang dialami Aleta Baun yang distigma sebagai pelacur karena setiap hari keluar malam dan nyaris dicerai oleh suaminya gara-gara sering meninggalkan rumah. “Stigma-stigma negatif itu tidak akan melekat pada laki-laki,” katanya.

Mai juga mengajak masyarakat dan media untuk memperbanyak suara-suara perempuan yang daerahnya mengalami krisis sosial dan ekologi. Banyak masalah yang dihadapi perempuan tapi tidak pernah muncul menjadi opini publik. Dia mencontohkan ibu-ibu di Bukit Lieunteng, Aceh, yang alat kelaminnya gatal-gatal karena sungai satu-satunya di kampung tersebut tercemar perusahaan tambang. Tapi kasus ini tenggelam karena urusan vagina di masyarakat setempat, dianggap tabu.

Puncak jambore berlangsung meriah dengan pameran produk perempuan dari 13 kampung yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil dan Jawa. Perempuan dari kampung-kampung tersebut juga tampil di panggung menceritakan tentang krisis sosial-ekologi dengan bermain drama.

Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air berlangsung sejak 14-16 Juli 2017 di Pesantren Ath Thaariq Garut. Acara ini sekaligus sebagai penutup program Beasiswa Studi Agraria dan Pemberdayaan Perempuan (SAPP) yang digelar Sajogyo Institute pada 2016. Sebanyak 13 perempuan menerima SAPP tersebut untuk menjadi fasilitator dan peneliti di 13 kampung yang sedang mengalami krisis sosial ekologi. Selama proses ini, mereka harus tinggal bersama ibu-ibu di kampung. Selama 1,5 tahun mereka mendorong perempuan agar menjadi pemimpin perjuangan dan menuliskannya.

Dalam jambore inilah, perempuan 13 kampung itu bertemu untuk saling mendengar dan belajar.” (IKA NINGTYAS)