Hilmatul Baidlo, seorang perempuan yang tinggal di desa Nambangan Perak, Surabaya, Sejak 2005 ia bersama warga desa lainnya gigih menolak kehadiran tambang pasir PT. Gora Gahana yang berdampak buruk pada kehidupan nelayan. Tambang pasir menyebabkan kerusakan ekosistem laut sehingga memerlukan waktu yang lama agar  kembali pulih. Abrasi di daratan yang terjadi membuat rumah dan tanggul menggantung serta  retak. 

“Kami sudah tidak lagi memiliki lahan atau bibir pantai untuk bermain, berlarian maupun membersihkan perahu” tutur Hilma. 

Perubahan iklim membuat musim menjadi tidak bisa diprediksi karena tingginya gelombang dan angin yang kencang mengakibatkan nelayan sulit memilih waktu untuk berlayar. Curah hujan tinggi dan bibir laut yang terus terkikis mengakibatkan banjir rob, yaitu naiknya permukaan laut atau air laut ke daratan yang disebabkan oleh air laut pasang. Maka air laut  yang naik ke permukaan menyebabkan daerah di sekitarnya jadi tergenang dan banjir.  

Sejak tahun 2012 penambangan pasir dilakukan, namun polisi air yang seharusnya berjaga terkesan membiarkan dan tak bisa melakukan apa-apa. Ketika nelayan melakukan aksi penolakan terhadap tambang, pihak perusahaan melaporkan mereka kepada pihak kepolisian dengan dalih menghalangi kegiatan usaha pemegang IUP. Semua laporan oleh perusahaan diurus cepat. Sedangkan laporan warga kepada kepolisian karena  pertambangan melanggar Pasal 35 UU Nomor 27 Tahun 2007 tak kunjung diproses.

Sekarang, perjuangan para nelayan untuk mendapatkan kehidupan yang layak semakin dipersulit oleh pemerintah karena  Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K)  telah ditetapkan menjadi Peraturan Daerah yakni PERDA No. 1 tahun 2018, menjadikan Surabaya ditetapkan sebagai lokasi tambang pasir. 

Salah satu siasat yang dilakukan Hilma dan perempuan-perempuan Nambangan untuk bertahan hidup dengan mendirikan koperasi 64 bahari untuk meningkatkan ekonomi nelayan. Ini merupakan salah satu perjuangan mereka melawan perusahaan tambang dan menghindari jerat hutang ke rentenir. Sebelumya, para perempuan kebingungan memenuhi kebutuhan hidup karena suami mereka sulit mendapatkan hasil laut sehingga mereka terpaksa berhutang dengan rentenir yang masuk ke desa mereka.  Akhirnya para nelayan menginisiasi koperasi, dimulai dengan mengumpulkan dana dari 15 orang warga yang dapat diputar untuk membantu para anggota. 

Perjuangan lain yang dilakukan para perempuan yakni ketika  para suami mereka melakukan aksi penolakan terhadap tambang. Ketika suami mereka menyalakan mesin perahu menuju tengah laut untuk berdemonstrasi, para perempuan dan anak-anak di pesisir pantai akan melantunkan ayat suci yang dipercayai dapat menjaga suami mereka dalam “perang” melawan perusahaan tambang pasir.