Catatan Etnografi

Pangan & Tabu Fatu Tunli Ana

Syahdan, pada masa yang telah lampau, bai-bai dan nenek-nenek tidak bisa menumbuhkan apapun di kebun. Bai dan Nenek yang tak bernama membawa serta putri tertuanya ke kebun, mengorbankan anaknya dengan membakar tubuhnya di batu. Batu itu kemudian dinamai Fatu Tunli Ana. Potongan tubuhnya disebar di kebun.[content_protector password=”12345″]Baca Selengkapnya =>Catatan Etnografi 10_TC[/content_protector]

Perempuan & Penguasa Diatas Lahan Para Penguasa, Para Tuan Tanah

Secara adat, kuasa tertinggi di wilayah Amanatun ada di tangan usif, atau raja. Usif disandang oleh Nitba, dan Fetor dipegang oleh Kob. Selain raja, ada pula fetor. “Fetor juga raja,” jawab Om Tu ketika saya bertanya apa bedanya usif dan fetor. Om Benediktus Kob, yang juga menjabat kepala desa mengatakan bahwa mereka bukan fetor yang pertama. “Dulu,
sebelum kami, Missa.[content_protector password=”12345″]Baca Selengkapnya =>Catatan Etnografi 9_TC[/content_protector]

Serba Serbi Migrasi

Orang di kampung memanggilnya Mama Jor. Namanya Da, ia berasal dari Surabaya. Pertemuan pertama kami adalah saat saya singgah di rumahnya untuk menunggu Om Tu memperbaiki motornya. Mbak Da menyambut saya dengan ramah. “Senang ketemu dengan sesama orang Jawa,” katanya. Dia mengaku syok tinggal di kampung, tanpa listrik, tanpa
kompor, jauh dari kota, dan susah sinyal.[content_protector password=”12345″][/content_protector]

Susimnasi Nikolas Nitbani

Nikolas Nitbani, atau sering disapa dengan sapaan hormat „Usimnasi‟ tidak mengingat berapa usianya. Ia juga tidak ingat berapa usianya saat orangtua merajah tangannya dengan tato berlambang „manukaif.‟2 Penanda tahun awal yang ia ingat adalah ia menikah pertama kali saat Pemilu pertama digelar, pada tahun 1955. Istrinya saat itu berasal dari Amanuban. Hingga saat ini, dia telah menikah tujuh kali.[content_protector password=”12345″]Baca Selengkapnya =>Catatan Etnografi 7_TC[/content_protector]

Kontak Mulia: Siapa Perempuan Dari Jawa Itu?

Saya mengenalkan diri sebagai mahasiswa semester akhir yang mendapat beasiswa untuk penelitian di Amanatun Selatan dan akan belajar dengan cara tinggal di kampung, belajar tentang lingkungan dan kehidupan perempuan dari orang di kampung. Orang-orang di kampung memaknai ini dengan sebutan praktek atau KKN.[content_protector password=”12345″]Catatan Etnografi 6_TC[/content_protector]

Bersarang di Amanatun Selatan

Akhirnya, saya pergi juga ke kampung. Setelah Mama Aleta berhalangan mengantar, saya pergi pada hari Jumat, 5 Agustus diantar oleh staf OAT, Yulius Pay. Rencananya, untuk sementara saya tinggal dengan kakak Mama di desa Haumeni, tapi Yulius Pay menganggap saya lebih baik langsung tinggal di desa Sahan dengan Lambertus Tamon, adik ipar Mama yang juga staf OAT. Terdapat dua alternatif jalan menuju Sahan: via jalur Selatan melintasi Mollo, Amanuban Barat dan Amanuban Selatan yang kondisi jalannya lebih baik namun jarak lebih jauh, atau via Oinlasi.[content_protector password=”12345″]Baca Selengkapnya =>Catatan Etnografi 5_TC[/content_protector]

Cerita Diluar Kampung

Kupang adalah satu-satunya kota besar di Timor Barat. Ia merupakan kota pesisir bekas pusat kekuasaan kolonial. Tentu, dibanding kota-kota besar di Jawa, Kupang adalah kota yang kecil. Jumlah penduduknya kurang dari 500.000 jiwa pada tahun 2014, dan hanya terdiri dari enam kecamatan. Saya belum pernah mencobanya, tapi saya kira dalam satu hari dengan mengendarai sepeda motor kita bisa mengelilingi kota ini.[content_protector password=”12345″]Baca Selengkapnya =>Catatan Etnografi 4_TC[/content_protector]

Alarm – Kekerasan Seksual dilapangan

Dua puluh dua Juni dua ribu tujuh belas, pesawat saya berangkat ke Kupang pukul 18.10 WIB. Tiba di langit Kupang tepat waktu, pukul 22.10 WIT, namun ada masalah penerangan di bandara. Setelah sekitar setengah jam, penerbangan tak juga membaik dan pesawat kami memutuskan menuju Makassar untuk mendarat sementara. Saya selamat, namun belum sampai tujuan.[content_protector password=”12345″]Baca Selengkapnya =>Catatan Etnografi 3_TC[/content_protector]

Nausus & Fatumnasi

Ini adalah sebuah upaya menulis ulang. Pada tanggal 8 Juni 2016, saya kehilangan sebuah tas. Tas itu berisi semua data dan catatan saya sebelumnya, termasuk catatan lapangan dua dan tiga, dan foto-kisah kedua yang berada dalam laptop, kamera saku, perekam suara, buku catatan harian, juga harddisk eksternal. Hanya ada beberapa foto di ponsel yang
tertinggal, yang sesungguhnya tak memadai untuk merekonstruksi catatan.[content_protector password=”12345″]Baca Selengkapnya =>Catatan Etnografi 2_TC[/content_protector]

Berkenalan Dengan Timor

“Soe itu dingin, Nausus lebih dingin lagi,” begitu kata teman saya saat saya hendak berangkat ke Timor. Sampai di Kupang, udara tidak ada dingin-dinginnya tentu, karena disini dataran rendah pinggir pantai. Yang baru bagi saya adalah angin terasa kering. Di Bandara, saya hanya dapat berbincang sebentar dengan Mbak Mai, dan baru saja injak kaki di
sini, saya sudah melakukan kesalahan.[content_protector password=”12345″]Baca Selengkapnya =>Catatan Etnografi 1 TC[/content_protector]