TAMPAH |  Editorial  TKPT | ll | Oktober 2021

Rencana tambang dan pembangunan peleburan pasir besi PT. Jogja Magasa Iron di  sepanjang garis pantai Kulonprogo ditolak masyarakat yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pesisir (PPLP) Kulonprogo sejak 15 tahun lalu. Perusahaan dengan izin Usaha Pertambangan hingga 2038 ini tiap tahunnya berencana memproduksi 1 juta pig iron. Meski beberapa kali mengalami kriminalisasi dan upaya hukum PPLP digagalkan aparat  penegak hukum, mereka tetap konsisten melawan.

Afiliasi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Kadipaten Pakualam X yang menjabat pemerintahan tertinggi D.I.Y dengan perusahaan tambang  membuat blur fungsinya sebagai pelindung rakyat atau barisan oligarki. Akibatnya, lanjut tidaknya pertambangan hanya diputuskan jika uji sampel pasir besi ekonomis dengan pembangunan pabrik dan penambangan jika sesuai standar, bukan suara rakyat. Alih-alih mendukung ekonomi rakyat kecil, pemerintah memilih ekonomi umur pendek dan memperpanjang usia oligarki dengan mengubah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) lewat Perda Nomor 2 Tahun 2010 tentang RTRW DIY 2009-2029 yang mengakomodasi pertambangan, meskipun anggota DPRD menolaknya.

Padahal rakyatlah yang mengubah lahan ‘gersang’ yang membentang sepanjang pesisir Kulonprogo tersebut menjadi wilayah pertanian produktif dan berkelanjutan. Dulunya, mereka diejek, dijuluki “wong cubung” karena miskin dan tak berdaya. Keuletan merekalah yang  menghidupkan lahan tandus dan membuat Kulonprogo dikenal sebagai penghasil cabai terbesar di Indonesia. Penolakan PPLP sangat beralasan karena tambang tak mungkin ramah terhadap petani dan perempuan. Bagi perempuan, selain tambang merusak ruang hidup dan lahan pertanian pesisir, juga dapat menghilangkan eksistensi mereka sebagai petani pesisir kulonprogo. Perempuan tak tinggal diam, mereka aktif menolak tambang dengan menghidupkan lahan pertanian, mengadakan pengajian serta protes di depan kantor-kantor pemerintahan. Perempuan tak tinggal diam, mereka aktif menolak tambang dengan menghidupkan lahan pertanian, mengadakan pengajian serta protes di depan kantor pemerintahan. Mereka membuktikan bahwa bertanam adalah melawan!