*Siti Maimunah- www.konde.co

Tulisan ini adalah bagian kedua dari rangkaian tulisan Rahim dan Revolusi Meja Makan. Hasil renungan dan interaksi dengan peserta di Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air di Pesantren Ath-Thaariq, Garut, Jawa Barat, 14-16 Juli 2017. Peserta jambore sekitar 165 perempuan dan laki-laki.

Eksploitasi tubuh alam itu beriringan dengan perlakuan membuang limbah ke alam. Tiap harinya, tiap orang Indonesia menghasilkan sedikitnya 0,5 kg – 0,8 kg sampah. Penduduk Jakarta saja setiap hari menghasilkan 7000 ton sampah.

Jenis sampah yang seolah tak bisa lepas dari keseharian kehidupan kita adalah plastik. Belanja ke pasar dan mall, bahkan belanja makanan pun pasti menghasilkan kantong plastik baru, yang ujung-ujungnya dibuang. Barang-barang yang kita konsumsi dari minyak goreng, shampoo, sabun cair dan lainnya juga  di kemas dengan plastik yang akhirnya dibuang ke alam.  Belum lagi korporasi tambang yang secara masif melakukan pembongkaran batuan dan membuang limbahnya yang beracun ke alam.

Newmont & Freeport–perusahaan tambang emas asal Amerika Serikat sedikitnya membuang 320 ribu ton limbah tailing  tiap harinya ke laut Papua dan Sumbawa. Alam dipaksa menerima buangan limbah dari waktu ke waktu.

Celakanya, perlakuan terhadap alam itu bukan untuk kesejahteraan seluruh rakyat, justru faktanya  lebih banyak menguntungkan segelintir orang dan penguasa. Buktinya sekitar 56% aset di Indonesia, seperti properti, lahan dan perkebunan dikontrol hanya oleh 0,2% populasi di Indonesia (BPN, 2016).

Contohnya dalam bidang perkebunan,  sekitar  5,1 juta Ha luasan perkebunan kelapa sawit dikuasai  oleh 25 keluarga konglomerat. Di daerah situasinya serupa, para penguasa, politisi dan pebisnis yang justru mendapatkan keuntungan berlimpah dari eksploitasi dan pembuangan limbah ke alam.

Alam terus diperlakukan sebagai benda mati. Padahal sebagai sesuatu yang hidup, seperti tubuh manusia – dia memiliki keterbatasan. Dalam titik tertentu, keterbatasan itu bisa muncul dalam bentuk yang menghantam kehidupan manusia, menjadi bencana seperti banjir yang menghanyutkan rumah dan pohon-pohon, limbah beracun  yang akumulasinya dalam tubuh manusia menyebabkan penyakit, kebakaran hutan akibat pembukaan lahan gambut yang sembrono, dan lainnya.

Terbukti jumlah kejadian bencana  bajir makin meningkat,  puncaknya pada 2016 terjadi 766 kejadian banjir yang menyebabkan 147 orang meninggal dunia, 107 orang luka, 2,72 juta orang  mengungsi dan menderita, dan 30.669 rumah rusak (BNPB, 2016)

Sebenarnya tubuh alam dan tubuh manusia memiliki kesamaan, sama-sama memiliki keterbatasan. Itu juga filosofi yang diajarkan masyarakat adat Mollo sejak lama.

Orang Mollo percaya tubuh alam itu bagai tubuh manusia,  tulang itu seperti gunung batu, darah seperti air, daging seperti tulang, sementara kulit dan rambut seperti hutan. Jika kita merusak tubuh alam, maka sebenarnya kita sedang merusak tubuh sendiri.

Hendro Sangkoyo, pegiat Sekolah Ekonomi Demokratik mengandaikan model pembangunan yang kita lakukan saat ini seperti kita sedang memakan bagian tubuh kita sendiri, yang mengakibatkan tubuh kita makin lemah.

Jika kita memperlakukan alam sebagai benda hidup, maka  yang terjadi sebaliknya. Kita akan mengatur perilaku kita, mengatur pola konsumsi kita, mengatur tatakrama kita menjadi lebih baik dalam memperlakukan mereka. Materi ini  yang dipercakapkan dan dipraktekkan peserta Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air 2017, caranya lewat makanan.

Penyelenggara Jambore  menyediakan menu-menu makanan yang luar biasa – tanpa  bumbu vetsin, hanya garam dan rempah-rempah. Bahan-bahannya pun bukan yang mainstream, bahan makanannya lokal dan rempah-rempahnya dipetik dari halaman pesantren.

Jadilah menu masakan yang rasanya yang tak biasa,  judul masakannya pun tak pernah didengar sebelumnya, sepertitelur goreng pegagan, pisang rebus daun mint, perkedel tahu daun kunyit, nasi ungkep temulawak, orak arik telur kelor, nasi bunga telang, tahu isi kenikir, ayam merah rosella, bala bala antaman, ataupun urap sambung nyawa.

 
Sajian Makanan saat di Jambore

Selama tiga hari kegiatan, peserta “dipaksa” mengkonsumsi masakan-masakan yang aneh di lidah, yang dikemas dalam ajakan untuk merevolusi meja makan. Meja makan hanyalah simbol  yang menunjukkan dimana kita makan di dalam rumah, kata ‘meja makan’ bisa diganti dapur,  bisa diganti perut, bisa diganti lidah,  yang semuanya bermakna ajakan mari mengubah cara dan pola kita memproduksi dan mengkonsumsi pangan.

Apa hasilnya?

“Saya diare dua hari pertama, naik turun tangga pergi ke WC”, ujar  Delviana peserta dari desa Sempaja Utara propinsi Kalimantan Timur. Tubuhnya menolak makanan makanan aneh itu. “Tapi sudah baik baik saja di hari ketiga”, tambahnya.  “Saya sebaliknya, makanan saya muntahkan”, ujar Luh, peserta dari Bali.

Peserta lainnya yang tidak tahan dengan makanan di pesantren Ath-Thariq, diam-diam mencari  bubur ayam untuk sarapan dengan cara berjalan kaki ke luar pesantren. Bubur ayam tentu mengunakan  bumbu masak dari pabrik, vetsin atau masako.

Saya terhenyak mendengar kesaksian-kesaksian yang dilontarkan pada hari terakhir Jambore itu. Makanan yang kita makan selama ini, yang hampir sebagian besar diproses di pabrik atau ditopang oleh bahan produksi pabrik, ternyata telah menciptakan benteng dalam tubuh kita. Makanan bervetsin, ber-royco, berminyak sawit, berterigu – yang diproduksi pabrik-pabrik besar itu, membuat tubuh kita melawan saat diperkenalkan kembali kepada bahan-bahan lokal.
Sengaja ataupun tidak, kita terlalu lama membiarkan sel-sel tubuh kita mengecap rasa produk-produk pangan yang disediakan pabrik, disediakan korporasi skala besar.

Produk-produk  pangan dikuasai  pabrik-pabrik yang dimiliki pengusaha kaya. Setidaknya ada 10 perusahaan yang memonopoli pemenuhan pangan  penduduk dunia kini. Mereka adalah Kraft, Nestle, Protector & Gamble (P&G), Jhonson & Jhonson, Unilever, Mars. Inc, Kellog, General Mills,  PepsiCo dan Coca Cola.

Penduduk Indonesia bagaimana?  Produk makanan dan minuman yang kita konsumsi kebanyakan berasal dari perusahaan Unilever, Kraft, Nestle, Danone, dan Coca Cola. Sementara untuk produk kebersihan atau sanitasi penguasa pasarnya Unilever, selain Johnson and Johnson dan P&G.

Paling sering kita jumpai di toko-toko hingga mall-mall  adalah produk Unilever,  perusahaan yang memproduksimakanan, minuman, pembersih, dan produk perawatan tubuh dalam  lebih 400 jenis merk dagang, diantaranya:Pepsodent, Lux, Lifebuoy, Dove, Sunsilk, Clear, Rexona, Vaseline, Rinso, Molto, Sunlight, Walls, Blue Band, Royco, Bango, dan lain-lain. Unilever bermarkas di Rotterdam, Belanda.

Pasar tak hanya memenuhi Indonesia dengan produk-produk siap pakai. Bahan-bahan pangan mentah pun, Indonesia bergantung pada Negara luar.  Impor komoditas beras, jagung, kedelai dan gandum, angkanya terus meningkat dari waktu ke waktu. Pada 2016, Indonesia menjadi pengimpor gandum terbesar kedua di dunia.

Entah sejak kapan orang Indonesia menjadi penyuka gandum, bahan dasar tepung terigu – yang  tanamannya justru tak ditanam di sini. Hampir sebagian besar orang  Indonesia mengkonsumsi terigu, yang biasanya digunakan untuk bahan mie, gorengan dan berbagai jenis kue.

Gandum didatangkan dari negara-negara industri seperti Uni Eropa, Kanada, Rusia dan Australia.

(bersambung)

 

*) Siti Maimunah merupakan salah satu inisiator Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air dan peneliti di Sajogyo Institute

Sumber foto : Sajogyo Institute dan pixabay