MARLENA & FITRI ANGGRAINI

Marlena biasa dipanggil Lena (41 th) adalah seorang ibu dari 4 anak. Ia salah satu pegiat di FPB atau Seluma yang letaknya 120 km dari kota Bengkulu. Dia bergabung Forum Petani Bersatu (FPB) sejak 2011 sejak terjadi pengurasakan lahan perkebunan masyarakat oleh PT SIL. Perusahaan menggunakan surat menang lelang dari Ex. PT Way Sebayur di Pengadilan Negeri Jakarta pada 2011 sebagai alasan merampas lahan rakyat. Puncaknya 2014, ketika pemerintah memperpanjang Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit dan menggusur tanah masyarakat.

Bagaimana sejarah perjuangan dan keterlibatan perempuan?

Lena bersama warga desa tidak menginginkan ganti rugi, melainkan mempertahankan tanah dan lahan yang dikuasai dan diolah turun-temurun. Ganti rugi sebesar Rp 20 juta – Rp 25 juta/hektar jika lahan warga berupa kebun sawit, dan sebesar Rp 15 juta /hektar untuk kebun karet. Lahan seluas 1200 hektar milik 529 kepala keluarga petani terdampak HGU PT. Sandabi Indah Lestari (PT SIL). Perusahaan juga melakukan pungutan liar pada petani yang keluar masuk perkebunan. Janji untuk menyediakan dana ke desa sebesar Rp 3 juta/tahun dan akan ditingkatkan menjadi Rp 15 juta/tahun jika perusahaan mengalami kemajuan pun tak pernah terealisir. Di sini, perusahaan telah bertindak sewenang-wenang karena menggusur kebun petani tanpa pemberitahuan dan mengintimidasi warga yang melawan perusahaan. Sebagai perempuan dan warga desa, ia merasakan hidup kini yang tak lagi tentram.

Lena bersama warga desa tidak menginginkan ganti rugi, melainkan mempertahankan tanah dan lahan yang telah dikuasai secara turun-temurun.”

Hal senada juga dilakukan Fitri Anggraini. Fitri (33 th) seorang ibu dari 2 anak. Ia bergabung dengan FPB sejak 2012. Ia hidup cukup sederhana karena televisi pun tak ada, handphone pun baru punya sejak anak bersekolah online. Bahkan, ketika Fitri sedang mengandung anak pertama dan mendekati masa persalinan, ia menyaksikan teman seperjuangannya mengalami intimidasi. Fitri mempelajari trik perusahaan dalam mengkriminalisasi petani agar mau menyerahkan lahannya. Menurutnya, perusahaan sengaja meninggalkan buah sawit tidak dipanen atau dijatuhkan di jalan lintas agar diambil oleh anak-anak petani. Selanjutnya, satpam dan karyawan perusahaan akan memfoto dan melaporkannya pada manajer untuk dilakukan pemanggilan pada orang tuanya. Jika orang tuanya menyerahkan lahan pada perusahaan, maka anaknya tidak akan dipenjarakan. Karena petani takut, mereka pun menyerahkan lahan. Namun, anak masih berada di penjara hingga kini.

Konflik agraria antara warga dan perusahaan ini cukup mendapat perhatian. Selain disuarakan FPB, konflik juga telah difasilitasi Walhi Bengkulu untuk melaporkannya pada Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria Kantor Staf Presiden (PPKA KSP). Menurut Koordinator FPB Seluma, Osian Pakpahan, konflik berlangsung sejak 2011.

Bencana perkebunan sawit.

Perkebunan telah membawa bencana dan kerusakan. Tidak hanya degradasi ekologi, juga merampas hak hidup dan identitasnya sebagai warga desa Lunjuk, Seluma-Bengkulu. Lena dan Fitri merasakan dampak luar biasa dari keberadaan perkebunan yang telah menjauhkan dari ruang hidupnya. Perubahan kondisi air sungai yang menjadi keruh, berbau, dan menyebabkan alergi telah menganggu aktivitas dan kebutuhan hariannya bersama keluarga. Bahkan, air menyebabkan pakaian menjadi berubah warna, termasuk perubahan warna kuku. Perubahan mata pencaharian pun demikian, sawah menjadi rusak, gersang, tanah retak, dan tanah tercemar mengandung zat kimia berbahaya. Petani sering gagal panen karena serangan hama dan jamur. Begitu pula dengan bencana banjir dan kekeringan yang kini sering terjadi.

Melawan dengan mempertahankan lahan.

Lena, Fitri dan warga desa akan tetap mempertahankan lahan. Bagi mereka lahan adalah warisan yang harus dipertahankan. Lahan adalah masa depan dan tabungan. Tanah adalah sumber penghidupan. Lena bersama warga desa tidak menginginkan ganti rugi, melainkan mempertahankan tanah dan lahan yang telah dikuasai secara turun-temurun. Ini bukti bahwa Lena, Fitri, dan sejumlah warga desa lainnya telah tercerahkan. Mereka telah berpikir rasional, tidak hanya ekonomi namun juga politik dan moral filosofis. Uang dari ganti rugi hanya dinikmati sekali, namun selanjutnya harus menjadi buruh harian. Berbeda halnya jika tanah dan kebun milik sendiri, mereka tidak perlu tergantung pada upah. Wacana yang berkembang di masyarakat mengenai HGU perusahaan pun bisa diperpanjang hingga 90 tahun. Ini menyadarkan bahwa konflik dan perjuangannya akan tetap terus berjalan. Lena, Fitri dan masyarakat tidak lagi percaya janji perusahaan. Apalagi Pemerintah Daerah (Bupati dan DPRD) juga tidak pernah melibatkan masyarakat dalam penyelesaian.

 

 

Informasi terkait:

WALHI Bengkulu, update kasus FPB Seluma vs PT Sandabi Indah Lestari

Sepriandi, Pedoman Bengkulu, update kasus FPB Seluma vs PT SIL, anak-anak ikut aksi

Aldi Gultom, RMOL Bengkulu, perempuan FPB Seluma tuntut penyelesaian konflik

WALHI Bengkulu, awal mula kasus FPB Seluma vs PT. Sandabi Indah Lestari

Indra Gultom, Antara News, dari PT. Way Sebayur ke PT. Sandabi Indah Lestari