Salah satu sesi menarik yang akan Anda temui dalam Jambore Perempuan Pejuang tanah air adalah Terminal Benih. Dalam sesi ini semua peserta jambore akan saling mempertukarkan benih yang telah dibawanya dari daerah masing-masing.
Terminal Benih merupakan inisiatif Jaringan Advokasi Tambang dan Pesantren Ath-Thaariq Garut untuk mengkampanyekan pertukaran benih dan tanaman lokal secara lebih masif dan terjangkau. Kegiatan ini bercita-cita menjaga benih warisan yang masih ada dan menyebarluaskan, bersama dengan upaya menemukan gagasan-gagasan baru bagi ekonomi yang mandiri, berkelanjutan dan bermartabat.
Kordinator Program Perempuan dan Agraria Sajogyo Institute, Siti Maimunah, mengatakan, Terminal Benih merupakan bentuk keprihatinan atas kelangkaan dan hilangnya benih-benih warisan (heirloom). Sehingga saat ini, untuk menanam kita harus membeli benih pabrikan hibrid, yang hanya bisa satu kali tanam. “Benih lokal makin terpingirkan, jikapun ada sudah hasil rekayasa genetik yang memusnahkan indukan aslinya,” kata Maimunah, Senin, 10 Juli 2017.
Hilangnya benih-benih lokal berimbas pada hancurnya produksi dan konsumsi bangsa. Pilihan atas ekonomi ekstraksi berskala besar, membuat masyarakat menghadapi krisis air dan pangan. Lahan-lahan petani yang tergusur, menghilangkan keragaman hayati, termasuk benih-benih warisan para leluhur.
Konsumsi, kata Maimunah, juga diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar, yang ujungnya untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Korporasi menyediakan pangan dalam jumlah besar, sebagai hasil menumbuhkan benih-benih rekayasa genetik. Hibridisasi benih menghasilkan benih unggul yang justru membuat petani makin tinggi terhadap benih, pupuk kimia dan pestisida.
Celakanya, gaya hidup manusia sekarang lebih rajin mengkonsumi buah-buah impor, belanja di supermarket, dan menjauhi pasar tradisional. Warga makin jauh dari tanah, dari petani dan produk-produk lokal warisan. Jika tidak ada yang bergerak, kehancuran pangan lokal sebuah keniscayaan.
Di sebagian tempat benih lokal warisan sudah punah sama sekali. Namun di tempat lain, masih ada sedikit dan terus dipertahankan. Melalui Jambore inilah, peserta diajak untuk memulainya dengan mengumpulkan dan menanam benih-benih tersebut. Memperbanyak penyebaran benih-benih lokal, membuatnya bertahan dari gempuran benih pabrikan yang dipantenkan. “Makin banyak komunitas yang menanam dan memuliakan benih-benih lokal dengan sendirinya benih warisan itu akan terjaga,” katanya.
Pesantren Ath Thaariq menjadi salah satu tempat yang merawat dan menghidupkan benih-benih lokal. Sejak berdiri 2009, telah ada 400 lebih jenis tanaman di pesantren ini yang dikumpulkan, baik lewat tangan para santri dan para pendukungnya. Selain mengajak santri menanam, pesantren yang didirikan suami istri Ibang Lukman dan Nissa Wargadipura ini juga mengenalkan “seed art” atau seni menghias dengan biji-bijian.
Menurut Nissa, ada sekitar 20 “seed art” karya para santri yang akan dipamerkan dalam Jambore yang berlangsung 14-16 Juli 2017. Para santri pembuat “seed art” di pesantren ini disebut “seed saver”. “Disebut demkian karena mereka menyimpan, memelihara, menanam, dan mengurus benih-benih warisan. Benih yang diturunkan secara turun-temurun,” kata Nissa.
Jadi, benih apa yang ingin Anda bawa ke jambore nanti?