Kelompok Belajar
Silabus Sesi 6
“Perlawanan Perempuan dalam Perjuangan Agraria”
Perampasan ruang hidup perempuan semakin hari semakin masif terjadi. Perempuan termarginalisasi atas perampasan sumber daya alam yang dilakukan oleh para elit korporasi dan pemerintah. Bentuk-bentuk resistensi atas perampasan tersebut dilakukan oleh para perempuan ini dengan cara-cara yang khas, seperti yang dilakukan oleh kelompok perempuan Chipko di Nepal dan India dengan memeluk pohon-pohon yang akan ditebang oleh perusahaan kehutanan, atau contoh lainnya, mengerjakan tanah secara kolektif yang dimiliki sebagai suatu kekayaan dan dikelola bersama oleh kelompok perempuan sehingga para suami tidak dapat mengintervensi pemanfaatan panen yang dihasilkan dari tanah-tanah tersebut.
Kisah terbaru yang menarik adalah Perjuangan Aleta Ba’un, seorang perempuan dari desa Netpala, kecamatan Molo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, menjadi pemimpin gerakan orang-orang Molo mengusir PT. Timor Indah Marmer, dan perusahan pertambangan batu marmer lainnya, yang sebelumnya menguasai tempat suci orang-orang Meto. Mama Leta menjadi pemimpin gerakan orang Molo menempuh jalan yang terjal, berlika-liku, dan mendaki. Berbulan-bulan semenjak tahun 1996, ia dihadapkan oleh pertanyaan, gugatan, hingga cemoohan, bukan hanya karena menjalani ia mempelopori kerja perjuangan tanah-air yang beresiko tinggi, tapi juga karena ia adalah perempuan, selama melakukan penyadaran dari rumah-ke-rumah, kampung-ke-kampung, hingga memimpin para lelaki tetua adat dan orang-orang Meto untuk menduduki kembali bukit-bukit batu, mengusir pekerja-pekerja perusahaan dari sana, dan memprotes pemerintah di kantor-kantor mereka.
“Saya memang pemberontak dari kecil ketika saya dan saudara saya mengalami ketidakadilan. Kejadian itu tertanam dalam diri saya sampai saat ini. Saya tidak bisa membiarkan ketidakadilan terjadi di depan saya, meski resiko besar harus saya hadapi. Dibenci, dihujat, cemooh tanpa bisa membaginya kepada siapa saja selain pada ‘batu-batu’ itu saya kembali” (Disampaikan pada Latihan Penulisan Tutur Perempuan Adat, Direktorat Pemberdayaan Perempuan Adat (DPPA) AMAN, Bogor 14-16 Oktober 2008).
Satu yang mencengangkan adalah rangkaian aksi demonstrasi, dan pendudukan kamp pertambangan yang dilakukan bulan Juli tahun 2000, dimana partisipasi perempuan dalam aksi ini sangat mencolok, lebih dari separuh dari peserta aksi. Sebagaimana dicatat oleh Simatau dkkk (2001:67-68), pendudukan kamp selama sekitar sebulan oleh sekitar seribuan warga hanya mungkin dilakukan manakala para perempuan bukan hanya sebagai peserta aksi, juga sebagai penjaga energi baik dalam segi makanan dan semangat perjuangan. Lebih dari itu, dua dari delapan amaf (pemimpin adat) pun untuk pertama kalinya dijabat oleh perempuan, Johanje dan Olifa, keduanya menggantikan ayah mereka, dan penggantian ini ditunjuk oleh ayah mereka dan diterima oleh amaf lainnya, serta masyarakat Molo seluruhnya. Memulai kepeloporannya dengan melakukan aksi-aksi bersama kelompok perempuan untuk penyelamatan atas tanah yang digunakan untuk bercocok tanam dan gunung batu sebagai sumber mata air yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat adat Molo telah menunjukkan perempuan mengambil posisi kepemimpinan dalam gerakan penolakan terhadap tambang dan penghancuran sumber-sumber kehidupan komunitasnya. Perempuan Molo bersama-sama berkemah di hutan-hutan di wilayah operasional perusahaan, memasak dan membawa anak, meninggalkan suami dan rumah. Secara perlahan perjuangan ini mendapatkan kepercayaan dari berbagai kelompok di dalam masyarakat perempuan, lelaki dan tetua adat yang pada saat itu dikuasai para lelaki.
Melalui kepeloporannya, perempuan-perempuan Molo yang lain pun aktif dalam gerakan. Satu yang mencengangkan adalah rangkaian aksi demonstrasi, dan pendudukan kamp pertambangan yang dilakukan bulan Juli tahun 2000, dimana partisipasi perempuan dalam aksi ini sangat mencolok, lebih dari separuh dari peserta aksi. Sebagaimana dicatat oleh Simatau dkkk (2001:67-68), pendudukan base-camp perusahaan selama sekitar sebulan oleh sekitar seribuan warga hanya mungkin dilakukan manakala para perempuan bukan hanya sebagai peserta aksi, juga sebagai penjaga energi baik dalam segi makanan dan semangat perjuangan. Lebih dari itu, dua dari delapan amaf (pemimpin adat) pun untuk pertama kalinya dijabat oleh perempuan, Johanje dan Olifa, keduanya menggantikan ayah mereka, dan penggantian ini ditunjuk oleh ayah mereka dan diterima oleh amaf lainnya, serta masyarakat Molo seluruhnya.
Para aktivis gerakan sosial mengenal dengan baik cerita keberhasilan Mama Aleta dan para perempuan pejuang tanah-air orang Molo, yang sudah ditulis dalam buku, jurnal, liputan wartawan surat kabar, komik kartun, hingga film. Liputan surat kabar misalnya, Hadriani P, “Kartini Pegunungan Molo”, Koran Tempo, 7 November 2007; Fidelis E Satriastanti, “The Unfinished Story of ‘Indonesian Avatar’ Aleta Baun”, The Jakarta Globe 24 Maret 2012. Brigita Isworo Laksmi “Aleta Baun, Perempuan yang terus berjalan”, Kompas, 11 Maret 2012. Komik berjudul “Semangat Tanpa Batas” (2012) diproduksi oleh Serrum. Enelitian: STOS, Direktur Seni: MG Pringgotono; Ilustrasi: Eko S. Bimantara, Amy ‘Simonyetbali’ Zahrawan; Arief Atto; Desain dan layout: Ronald. Komik ini dipamerksn pada “About a Story of Molo” yang diselenggarakan oleh STOS dan Serrum, pada Goete Haus, 22-26 Februari 2012. Film berjudul “Aleta Baun” (2008) diproduksi oleh Gekko Films, bekerjasama dengan Asia Indigenous Peoples’ Pact (AIPP), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Tebtebba and the Asian Indigenous Women’s Network (AIWN). Direktur: Melly Nurmawati ; Cerita: Melly Nurmawati, Ridzki Rinanto Sigit and Devi Anggraini. Ilustrasi Aleta Ba’un ini dihadirkan kembali disini sekilas disini untuk menunjukkan bahwa, status perempuan dalam perjuangan dapat berubah dan mengubah rute perjuangan. Bagaimana hal itu dimungkinkan? Bagaimana pula cara yang tepat memfasilitasi penciptaan ruang yang leluasa bagi perempuan atau kelompok perempuan untuk belajar, berpartisipasi, dan pada gilirannya tampil sebagai pemimpin dalam semua urusan gerakan, termasuk pengambilan keputusan dan pelaksanaan soal-soal yang menyangkut kepentingan praktis maupun strategis?
Bacaan Wajib
Gillian Hart (1991) “Engendering everyday resistance: Gender, patronage and production politics in rural Malaysia”. The Journal of Peasant Studies 19:1, 93-121.
Shiva, Vandana (1997) Bebas Dari Pembangunan. Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India (Jakarta: Yayasan Obor), terjemahan dari Vandana Shiva (1989) Staying Alive: Women, Ecology and Development. (London: Zed Books).
Agarwal, Bina. 2000. “Conceptualising Environmental Action: Why Gender Matters.” Cambridge Journal of Economic 24:283-310.
Bacaan Dianjurkan
Deere, Carmen Diana Deere. 2003. “Women’s Land Rights and Rural Social Movements in the Brazilian Agrarian Reform.” Journal of Agrarian Change 3:257–288.
Desmarais, Annette Aurelie. 2004. “The Via Campesina: Peasant Women on the Frontiers of Food Sovereignty.” Canadian Woman Studies/les cahiers de la femme 23:140-145.
Desmarais, Annette Aurelie. 2005. “You Are Mostly Promised You Will Not Be Alona”: Women Farm Leaders Speak Out About Resistance and Agrarian Activism.” Canadian Women Studies/les cahiers de la femme 24:7-11.
Arora-Jonsson, Seema. 2005. “Unsettling the Order. Gendered Subjects and Grassroot Activism in Two Forest Communities.” Faculty of Natural Resources and Agricultural Sciences. Department of Rural Development and Agroecology., Swedish University of Agricultural Sciences., Uppsala.
Suarez, Sofia Monsalve. 2006. “Gender and Land.” Pp. 192-207 in Promissed Land. Competing Vissopns of Agrarian Reform, edited by P. Rosset, Raj Pattel, adn Michael Courvlle. Oakland: Food First Book.
Live Streaming Sesi 6: Perlawanan Perempuan dalam Perjuangan Agraria
Berita: Judul Berita
Sintesa Tematik Sesi 6
Perempuan Dalam Perjuangan Agraria