Oleh Mai Jebing

Masih meneruskan percakapan minggu sore akhir Februari, saat RubaPUAN Kolektif bertemu tiap bulan.

Percakapan sore ini membuat saya mengingat Donna Haraway salah satu feminist dari Amerika Serikat dengan pemikirannya tentang  situated knowledge (1999), atau pengetahuan yang tersituasikan. Pengetahuan pada diri seseorang terbentuk karena pengalaman dan situasi yang berbeda, dan tidak selalu bisa kita lihat secara utuh karena bias, karena kita melihatnya dengan kacamata dan ukuran, serta norma-norma dimana kita terbentuk. Itu terkait dengan relasi kuasa.  Pengalaman tersituasikan itu membentuk kita saat ini, termasuk membentuk  Abil.

Abil adalah pelajar Ruang Baca Puan tahun lalu. Dia peserta termuda. Semula, saya ragu memilihnya menjadi pelajar. Bukan karena kuatir dia tak bisa mengikuti materinya, tapi lebih kepada kekuatiran saya yang tak mampu menurunkan bahasa menjadi lebih mudah ditangkap dan membumi. Maklum, beda generasi. Abil memimpin anak-anak muda Jaga Rimba dan kini mengurus Sekolah Literasi Ekofeminis.

Sebelum bergabung Kolektif, Abil mempelopori anak-anak sekolah SMA nya mogok sekolah untuk menyelamatkan hutan. Dia melakukan aksi dengan tulisan “Mogok Sekolah unyuk Hutan” di atas papan kardus bekas di depan pintu kantor Menteri Nurbaya, Kementerian Kehutanan, penguasa hutan di Indonesia. Mulanya ia disuruh pulang sambal diminta membuat surat audiensi agar aksinya lebih resmi. Mungkin mereka tidak tahu bedanya protes dan audiensi ya. Aksi berukutnya, diminta membuat surat pemberitahuan aksi ke Polres Tanah Abang. Aksi yang membuatnya terpaksa bolos Sekolah karena Menteri Nusbaya tak juga melakukan tindakan signifikan menyelamatkan hutan, sesuatu yang belum dia pahami sampai saat ini. Abil akhirnya berhenti sekolah dan memutuskan belajar dari rumah atau homeschooling.

Ada yang bilang Abil meniru gaya Greta Thunberg, remaja Norwegia yang mendunia karena aksinya mogok sekolahnya tiap Jumat dan menyerukan agar pemimpin dunia megambil tindakan untuk penyelamatan iklim. Tapi Abil bilang, dia punya alasan dan cerita sendiri, yang kebetulan terinspirasi dan bermuara dalam aksi yang serupa: pelajar protes lewat mogok sekolah. Saya jadi ingat protes para aktivis kepada media internasional yang cenderung mengangkat sosok pejuang perempuan kulit putih, dibanding anak atau perempuan adat atau perempuan lokal yang bahkan sudah jauh sebelumnya melakukan perlawanan terhadap perusakan lingkungan. Mereka dilupakan karena bukan dari Eropa, tidak berbahasa Inggris, bahkan mungkin tidak sekolah.

Abil memang punya cerota berbeda. Pengetahuan dan hubungannya dengan alam terbentuk berbeda dengan Greta, yang tak mengalami perasaan mencekam karena tersesat saat kemping bersama keluarganya di hutan Sawal yang dikeramatkan di daerah Ciamis, Jawa Barat. Merasa bersalah karena mereka melakukan beberapa pantangan saat berada di gunung, yang mereka ketahui belakangan. Itu semua mempengaruhi Abil, anak kota yang semula ingin menaklukan  alam  dan justru merasa tak berdaya di hutan dan hampir tak menemukan jalan pulang. Itu terjadi saat dia masih duduk di bangku SMP. Ini membuatnya makin ingn tahu tentang alam dan mendorongnya menjadi pembela hutan.

Sore itu Abil membuat pengakuan yang mengejutkan. Dia bilang, “Aku selalu menghindar kalau ditanya tentang pekerjaan orang tuaku. Aku tersiksa bertahun-tahun menyimpan ini. Sebab orang tuaku kerja di perusahaan migas. Aku tahu tambang itu kan merusak lingkungan”, ujarnya. Saya tidak kaget dengan cerita Abil, yang membuat saya kaget adalah dia menyimpan itu dan membuat dirinya tidak nyaman dan kuatir karena itu. Untunglah dia sudah bisa melaluinya.

Tapi sama dengan pengalaman kista rahim, yang ternyata banyak orang mengalaminya. Kali ini Abil kami buat terkejut. Sebab, semua anggota kolektif juga pernah menghadapi pertentangan batin itu. Bapak saya pedagang emas, makelar emas tepatnya, yang mendapatkan untung dari jual beli perhiasan emas. Saat saya kuliah, dan menjadi anggota Pecinta Alam, saya menjadi pembela hutan yang akan ditambang emasnya. Kala itu saya baru tahu jika tambang itu merusak lingkungan. Akhirnya kolektif yang lain juga menimpali, ada yang menyebutkan orang tuanya bekerja di kontraktor tambang batubara, ada yang menjadi sopir truk angkut batubara, atau anggota keluarganya bekerja di perusahaan batubara.

Saya senang Abil sudah berdamai dengan dirinya. Bisa menerima situasi dan semoga membuatnya lebih gembira. Bagaimanapun kita berada dalam jejaring ekonomi kapitalis yang bergandeng tangan dengan sistem patriarkal. Tapi kita tidak mendiamkan sambal pura-pura tahu sama tahu, kita mempercakapkannya. Termasuk bagaimana memahami kerja orang di sekitar kita yang bekerja sebagai buruh di perusahaan ekstraksi, membedakannya dengan para pemilik perusahaan ekstraksi, yang sebagian adalah orang-orang  kaya yang mempengaruhi pengmbilan keputusan politik di negeri ini, para oligarki. Tapi kita punya pilihan-pilihan untuk bersikap, kita bisa jadi ‘pengganggu’. Dona Harraway menyebutnya dengan ‘staying with trouble’. Percakapan kami di kolektif juga bagian dari bertahan dengan segala kesulitan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan penyelamatan alam.

Hari Perempuan tahun ini dan semoga tahun-tahun berikutnya bakal lebih semarak, karena merayakan bersama RubaPUAN kolektif.  Selamat menjadi perempuan.

(Bersambung)