Jakarta | indonesiabiru.com *) – Malam menjelang, perahu kecil yang dipakai Ilyas, nelayan Muara Angke, bergegas ke laut. Sebelumnya, ia menyebar jaring ikan yang tidak jauh dari pulau reklamasi.
Perahu kecilnya, tidak mungkin mencari ikan sampai lautan lepas atau melebihi 10 mil dari pesisir Muara Angke.
Nelayan Muara Angke, yang hanya punya perahu kecil, tidak bisa melaut jauh dari pesisir, sudah merasakan dampak reklamasi. Keruhnya air laut dampak dari penyedotan pasir, membuat ikan yang dulu berkumpul di sekitaran pulau reklamasi lambat laut menghilang dan mati.
Pendapatan nelayan seperti Ilyas, menurun drastis. Biasanya nelayan mengantongi Rp 150 ribu sampai Rp 250 ribu dari hasil melaut. Kini, untuk mendapatkan Rp 50 ribupun sangat sulit bagi para nelayan. Hasil tangkapan terus menyusut.
Itu sedikit penggalan kisah Film Dokumenter Rayuan Pulau Palsu, yang dibuat Sutradara Watchdoc Documentary Rudi Purwosaputro. Film yang digarap hampir tiga bulan ini, bagian kerja sosial tim Watchdoc, untuk memotret kondisi reklamasi yang berdampak pada nelayan.
Film yang berdurasi hampir satu jam ini, memilih nilai kemanusian dari semua unsur permasalah dalam reklamasi Teluk Jakarta, yang saat ini menjadi sorotan publik. Sepertikerusakan lingkungan, sosial, hukum, dan kasus korupsi. Watchdoc Dokumentary yang sudah hampir 7 tahun membuat film dokumenter, seperti Kala Benoa, Mengenang Kenangan Jatigede, Yang Ketujuh, dan lainnya.
Dalam Film Rayuan Pulau Palsu, merekam secara sederhana warga terdampak reklamasi. Sutradara menilai menilai suara warga yang tidak pernah didengar, jauh lebih berharga ketimbang data dan angka-angka yang kadang mudah direkayasa.
Film ini, harus kita tonton, untuk mendorong empati kita sebagai warga agar ikut peduli pada warga hidup di pesisir Jakarta, yang terancam diusir. Masyarakat pesisir Jakarta, punya kedaulatan untuk mencari nafkah di laut, hidup, serta tumbuh sejahtera di pesisir, bukan diusir demi pembangunan yang lebih mengutamakan estetika, serta memanjakan kaum atas dengan properti mewah.
Jakarta dengan bentang pesisir lautnya yang luas, terus menihilkan masyarakat pesisir. Untuk menikmati pesisir atau lautan, masyarakat Jakarta harus bayar tiket atau membeli properti yang harganya selangit. Akses publik pada pesisir dan laut dipinggirkan. Laut dan Pesisir Jakarta bukan hanya buat yang punya duit tebal.
Film yang dirilis 30 April di Muara Angke, memberi gambaran pada publik, bagaimana pesisir harus dikelola demi masa depan anak dan cucu Indonesia. Bukan hanya buat properti dan menguntungkan segelintir pengusaha dan membuat ketimpangan ekonomi semakin nyata di negeri kepulauan ini. Masyarakat pesisir yang sudah hidup dan mencari nafkah di pesisir Jakarta, jangan dibiarkan terusir dan terpuruk.
*) sumber: http://indonesiabiru.com/rayuan-pulau-palsu-suara-nelayan-jakarta/