Tulisan oleh Maya Costanza
Penyunting: Yuliana Martha Tresia

Film dokumenter Indonesia dengan durasi 55 menit 7 detik ini dipublikasikan pada tanggal 2 November 2020 oleh The Gecko Project. The Gecko Project didirikan pada tahun 2019, merupakan organisasi independen yang mempunyai semangat mewujudkan jurnalisme berkualitas yang dapat mudah dijangkau oleh ragam lapisan masyarakat. Saat ini, Tanah Ibu Kami merupakan film dokumenter terpanjang di kanal YouTube Channel The Gecko Project.

Film Tanah Ibu Kami adalah hasil kolaborasi The Gecko Project dengan Mongabay, tercatat sudah ditonton 46.530 kali per tanggal 27 Maret 2021. Film ini melibatkan tokoh-tokoh kunci perempuan pejuang lingkungan di daerahnya masing-masing, yang akan menginspirasi dan membuka pandangan penonton, akan realita banyaknya konflik pelik yang terjadi di akar rumput. Untuk mengatasi konflik-konflik tersebut, sosok para perempuan kuat berdiri di garda terdepan, “membayar harga” yang tidak bisa dibilang sedikit akibat semua kekacauan ulah pihak luar.

Versi full movie Tanah Ibu Kami dipublikasikan tak lama dari penangkapan Ketua Adat Laman Kinipan. Video berita penangkapan tersebut juga ikut masuk ke dalam pembukaan film ini untuk  memperlihatkan bagaimana konflik lingkungan nyata dan beringas di negeri kita. Narasi film dibuka dengan perkenalan seorang jurnalis perempuan bernama Febriana Firdaus yang menemui lima perempuan dengan cerita pengalamannya sendiri, yang secara alami menjadikan mereka pemimpin gerakan sosial untuk hak lingkungan.

Sukinah dari Kendeng, Lodia Oematan dan Aleta Baon dari Pegunungan Mollo, Eva Bande dari Banggai, dan Wiza dari Aceh diwawancarai oleh Febriana Firdaus demi belajar dari intisari pengalaman yang sudah dan masih dilalui oleh para perempuan hebat ini. Latar belakang film dokumenter Tanah Ibu Kami menampilkan kampung, rumah mereka, ditambah dengan beberapa animasi sebagai ilustrasi, agar penonton dapat merasakan langsung bagaimana suasana pada saat konflik lingkungan terjadi.

Sukinah sudah sampai di Istana Negara untuk menyuarakan ketiadaan keadilan untuk desanya yang menggantungkan diri pada sumber mata air dari Pegunungan Kendeng. Lodia Oematan dan Aleta Baon yang percaya bahwa leluhur orang Mollo ada pada hutan, air, dan batu, tetap melakukan aksi menenun di gunung batu dengan segala rintangan, demi menghalangi para investor yang kembali “membongkar” gunung marmer yang sudah kepalang “dipotong”.

Cerita Eva Bande berbeda lagi. Ia bersuara lantang dan terpaksa berujung di penjara karena konflik agraria perkebunan sawit yang mengambil hak lahan para petani di Tolli. Eva Bande bebas dengan grasi dari Presiden Joko Widodo, setelah empat tahun ditahan dalam penjara karena dianggap sebagai provokator para petani pada saat itu. Aktivis lain yang ditemui Febriana Firdaus adalah Wiza, sosok perempuan yang sudah dan masih berjuang mempertahankan kawasan ekosistem Leuser, Aceh dengan Gerakan Aceh Menggugat (GERAM) dan membentuk HAkA (Hutan Alam dan Lingkungan Aceh).

Perjuangan yang telah dilakukan dengan upaya tidak sepele oleh para perempuan pejuang lingkungan masih harus terus dikerjakan. Perjuangan ini akan lebih ringan, jika jurnalisme pun ikut serta memberitakan dengan jernih, sehingga suara para perempuan pejuang lingkungan makin lantang terdengar di seluruh penjuru negeri. Pada akhirnya, besar harapan bahwa semua lapisan masyarakat akan mengetahui pihak mana yang seharusnya mendapat dukungan mereka.

Sumber Rujukan Pustaka :
Film Tanah Ibu Kami (2020)
Sutradara : Leo Plunkett
Penulis & Produser : Febriana Firdaus
Produksi : The Gecko Project dan Mongabay
Durasi film : 55 menit
dapat ditonton di YouTube Channel The Gecko Project, melalui tautan https://www.youtube.com/watch?v=17nuKRsHROM