Rahmawati adalah ibu dari Muhammad Raihan Saputra, salah satu anak yang meninggal karena tenggelam di lubang bekas tambang di Samarinda pada 22 Desember 2014. Raihan tenggelam di lubang bekas tambang batubara diduga milik PT Graha Benua Etam, di Bengkuring, Sempaja, Samarinda Utara yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari pemukiman warga. Lubang bekas tambang batubara yang dalamnya lebih dari 30 meter dengan luas 6 kali lapangan sepakbola tersebut dibiarkan terbuka sejak 2011 atau tiga tahun sebelum kejadian

Rahmawati selalu terharu tiap kali mengingat cita-cita anaknya semasa ia hidup, “Raihan kalau besar bilangnya cuma ingin cari uang banyak supaya Mamak bisa naik haji sama Bapak, bikinkan Mamak rumah.” Namun keinginan mulia tersebut terenggut ketika Raihan tenggelam di lubang tambang. Ia meninggal pada usia 10 tahun dan sedang duduk di kelas 4, SDN 009, Pinang Seribu, Samarinda Utara. Raihan diperkirakan meninggal karena tenggelam sekitar pukul 14.00 siang, dan baru berhasil dievakuasi pukul 17.00 WIB setelah mendapat bantuan tim SAR (Search and Rescue). Per November 2019, kisah Ibu kehilangan anak seperti yang dialami Rahmawati juga dialami 35 orang tua lain di Kalimantan Timur.

 

Bagaimana Perempuan Melawan?

Rahmawati meminta kepolisian melakukan pemeriksaan serius terhadap jenazah dan penyebab kematian anaknya, namun karena alasan bahwa ia bukan kepala keluarga polisi tidak menanggapinya.   Sebagai ibu yang mengandung hingga membesarkan anaknya, Rahmawati jelas berhak menuntut agar perusahaan dan pemerintah bertanggung jawab atas kematian anaknya. Ia tidak berhenti terus mengingatkan agar hal serupa tak dialami anak-anak lainnya. Selain memberi penjelasan kepada anak-anak di sekolah almarhum anaknya tentang bahaya bermain di lubang tambang, Rahmawati juga melawan dengan sebuah petisi di change.org yang kini telah ditandatangani oleh 137.505 orang. Sebelumnya, pada 24 Februari 2015, petisi yang sama telah diserahkan kepada Siti Nurbaya, Menteri LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan).

“Aku tidak menuntut uang. Berapapun ganti rugi yang perusahaan tawarkan itu tidak akan bisa mengembalikan nyawa anak kami. Kami hanya tidak ingin kejadian ini terulang lagi, dan memutus rantai kejahatan tambang yang dilindungi justru oleh pemangku kebijakan.”