Secara Daring, 9 April 2021, 14.00 WIB s/d Selesai
(Rangkaian Putaran Belajar Perempuan Tanah-Air)
Di era digital, media sosial menjadi ruang yang paling intens untuk sarana berkomunikasi masyarakat termasuk oleh aktivis lingkungan. Jargon “media sosial dapat mendekatkan jarak yang jauh” menjadi relevan. Namun media sosial juga memiliki kelemahan, seperti potensi peretasan data yang berujung pada penyebarluasan informasi pribadi kepada pihak tertentu bahkan ke publik luas, kriminalisasi, korban penipuan dan lainnya. Peretasan ini bisa terjadi pada siapapun, diantaranya oleh Ravio Patra dan Denny Siregar.
Pada 22 April 2020, Ravio Patra ditangkap atas tuduhan provokasi kekerasan dan penjarahan nasional pada 30 April 2020 melalui pesan whatsapp. Dalam kasus Denny Siregar, ia mengalami doxing atau penyebarluasan informasi pribadi tanpa persetujuannya yang dilakukan akun twitter @opposite6891 pada 5 Juli 2020. Keduanya sangat vokal di sosial media menyampaikan kritik terhadap situasi sosial dan politik di Indonesia. Dari kedua kasus di atas setidaknya memberikan gambaran bahwa potensi untuk diretas dan dikriminalisasi melalui peretesan tersebut sangat besar dialami para aktivis yang menyuarakan isu-isu keadilan lingkungan, keadilan agraria, dan lainnya.
Celakanya, beberapa produk hukum yang ada di Indonesia menjadi peluang bagi pihak tertentu yang kemudian memperparah kerentanan para aktivis menjadi korban peretasan dan kriminalisasi. Tentu kita ingat betul bahwa pada saat terjadi penolakan UU Cipta Kerja pada Oktober 2020 silam Kapolri mengeluarkan telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2/2020 tanggal 2 oktober 2020, yang memerintahkan untuk melakukan cyber patrol pada media sosial. Terbaru, 25 Februari 2021, Kapolri menggagas unit Virtual Police dan menerbitkan surat edaran nomor SE/2/11/2021 tentang kesadaran budaya beretika untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif. Dengan begitu, keamanan data dan informasi dari akun media sosial tidak lah lagi dapat dikatakan privasi. Kedua hal tersebut didukung dengan UU ITE semakin memperkuat potensi peretasan dan kriminalisasi terhadap aktivis.
Dalam konsultasi pulau para perempuan aktivis yang bekerja pada isu industri ekstraktif dan perempuan penyintas pertambangan dan industri lainnya yang merusak lingkungan di Indonesia yang difasilitasi TKPT sejak Januari – Maret 2021, juga muncul menjadi topik yang penting dipikirkan. Khususnya kebutuhan menjangkau suara perempuan melalui media digital dan juga mengangkat suara mereka di social media, dengan segala tantangannya. Maka Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT) bersama PurpleCode kolektif memfasilitasi pelatihan keamanan digital bagi perempuan aktivis lingkungan untuk membekali para perempuan aktivis dan perempuan penyintas menggunakan media digital dan media sosial dengan aman yang dilaksanakan pada Jumat, 09 April 2021.