Review Buku
PANGGILAN TANAH AIR
Penulis : Noer Fauzi Rachman
Penerbit : Prakarsa Desa
Tahun terbit : 2015
Jumlah halaman: 122
Pereview : Sartika Nur Shalati
Noer Fauzy Rachman, seperti dalam bukunya berjudul “Panggilan Tanah Air” yang banyak menyinggung persoalan konflik agraria dan kerusakan ekologis. Dia mengajak kita bertamasya ke masa lalu dengan memflash back ingatan-ingatan kita tentang penggambaran tanah air yang dipahami sebagai kampung halaman atau tanah kelahiran yang bernilai romantis, identik dengan keindahan, dan selalu menghadirkan kerinduan dan kecintaan akannya. Yang kemudian membandingkannya dengan konteks tanah air kekinian, di mana ekspektasinya sangat jauh berbeda dari yang kita bayangkan sebelumnya.
Berangkat dari perubahan kondisi tanah air yang sudah jauh berubah dari sebelumnya, memang benar jika kita mengatakan bahwa, kita sekarang sedang berdiri dan berada di tengah-tengah kemelut tentang permasalahan ekologis tanah air. Situasi krisis ekologis hari ini, dapat dirasakan dengan melihat ada begitu banyak perubahan yang terus terjadi dalam beberapa dekade, seiring berjalannya waktu. Terkait masalah agraria dan penggunaan sumber daya alam, yang ternyata memiliki keruwetan tersendiri dalam megurai berbagai permasalahan yang ada di tanah air Indonesia.
Rakyat Indonesia misalnya, ketika kita berangkat dari pemahaman di atas dan melihat kondisi masyarakat desa yang mayoritas penduduknya bermata pencarian sebagai petani, rakyat pedesaanlah yang tentunya paling banyak memiliki kecemasan akan kondisi krisis ini sebagai kekhawatirannya dalam mengolah lahan pertaniannya. Mereka menanggung beban berat secara kolektif perihal akses lahan produksinya yang semakin hari semakin menyempit, produktivitas hasil pertanian yang semakin menurun, karena adanya masalah lingkungan dan ekosistemnya yang dapat dikatakan sedang tidak baik-baik saja. Kondisi porak-poranda ini jika dilihat asal muasalnya, bertumpu pada hak kepemilikan. Di mana lahan-lahan di desa, yang dulunya menunjang kehidupan masyarakat desa khususnya para petani, kemudian didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing, yang secara massif terus tumbuh dan berkembang melakukan ekspansi dan perluasan ruang produksi. Mereka mengambil alih hak kepemilikan lahan dari masyarakat desa, khususnya petani. Dengan berpindahnya hak kepemilikan lahan dari tangan para petani, kepada pihak korporasi, maka para petani kemudian mulai kehilangan sarana produksi mereka, yang kemudian memaksa memilih jalan untuk menjadi tenaga kerja upahan (buruh). Proses seperti ini disebut sebagai Enclosure, atau Marx biasa menyebutnya sebagai Akumulasi Primitif, yaitu proses yang mendahului Akumulasi Kapital (akumulasi keuntungan) dari pihak korporasi yang menarik untung berlipat dari pengolahan hasil bumi, eksploitasi tenaga kerja, dan sumber daya alam, yang menghilangkan kesempatan masyarakat dalam menikmatinya, kecuali dengan membeli hasil produksinya.
Celakanya, proses penghilangan kesempatan masyarakat untuk mengolah lahan dan menikmati sumber daya alam yang tersedia ini, justru juga datang dari pemerintah yang memberikan lisensi berupa surat keputusan untuk melegalkan kepemilikan korporasi atas tanah, dan hutan yang bekerja sama dengan aparatur negara (polisi dan TNI) dalam melakukan proteksi terhadap resisten yang akan terjadi oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan. Padahal jika kita pikir secara seksama sejatinya, sumber daya alam itu sendiri merupakan asset kekayaan milik negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia, seperti yang tertuang dalam UUD Pasal 33 Ayat 3. Dari sini, kita bisa menilai secara objektif bahwa negara seolah menjadi kaki tangan yang siap melayani kepentingan pihak korporasi. Ini semakin dibuktikan dengan adanya pembuatan peraturan dan penetapan kebijakan yang keberpihakannya justru jauh dari kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan kapitalis sendiri.
Masalah lain yang menjadi perhatian kali ini selain kondisi miris dari lingkungan ekologis yang menunjang kemajuan pertanian adalah, jumlah petani yang semakin berkurang dan pilihan orang untuk menetap di desa semakin sedikit karena ketidak tertarikannya dengan kondisi yang ada, mereka berlomba-lomba ke kota, dengan iming-iming kehidupan yang lebih baik. Di tambah lagi, para sarjana ahli yang mengenyam pendidikan tinggi dari desa, lebih banyak memilih bekerja di sektor-sektor formal di kota. Sehingga laju urbanisasi setiap tahun semakin bertambah, mengakibatkan terjadi pemampatan ruang kota yang dipenuhi dengan kompleksitas pembangunan dan maasyarakat dari penjuru daerah.
Tercemarnya sumber-sumber air dan penggundulan hutan, serta pengerukan berbagai harta kekayaan dari alam secara progresif, memberikan kubangan besar dalam menyumbang krisis ekologis yang semakin menyengsarakan rakyat secara menyeluruh di tempat-tempat yang menjadi lahan eksplorasi industri. Ini tidak hanya menjadi ancaman masyarakat di desa, tetapi bisa juga dirasakan oleh masyarakat perkotaan secara berkepanjangan dan serius. Hal ini akan terus terjadi dan diperparah oleh tindakan apatis pemerintah dalam memperatikan dan mengusut masalah-masalah terkait agrarian, dan krisis ekologis hari ini. Namun, kita tidak bisa banyak berharap terhadap negara yang telah menjual harga dirinya demi kepentingan mereka, sebab rakyat Indonesia bisa mengusahakannya sendiri dengan memperjuangkan dan mengusahakan produktivitas pertanian yang harus dipelajari secara serius dan mendalam. Hal ini harus melalui kerja kolektif masyarakat yang terorganisir untuk menghasilkan syarat-syarat keselamatan dan kesejahteraan mereka.