Review Buku
PANGGILAN TANAH AIR
Penulis : Noer Fauzi Rachman
Penerbit : Prakarsa Desa
Tahun terbit : 2015
Jumlah halaman: 122
Pereview : Ramlah Laki
Kembalikan Kehidupan Rakyat berdasarkan UUD Dasar 1945
Sebagai rakyat Indonesia kita harus membaca kembali naskah dari PANCASILA dan menelaah kembali isi pembukaan UUD 1945.Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Apakah Benar-benar di
rasakan oleh rakyat Indonesia?
Indonesia dengan gugusan pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke, yang kaya akan sumber-sumber daya alam, di atas bumi maupun di dalam perut bumi, menjadi target kapitalis dunia. Ismail Marzuki dan Koes Plus dalam lirik lagunnya menyatakan Indonesia sangat kaya raya. Koes Plus bahkan mengibaratkan lautan Indonesia sebagai kolam susu.Pastilah kedua musisi itu terinspirasi dari kekayaan negeri tercinta ini.
Indonesia disebut negara kepulauan karena Indonesia adalah Negara yang terdiri atas banyak pulau, baik pulau- pulau besar ataupun pulau-pulau kecil. Pulau-pulau yang ada di Indonesia secara umum kaya akan sumber daya alamnya.
Panggilan tanah air adalah panggilan dimana kesadaran rakyat atas tanahnya, atas kehidupannya, dan atas hak-hak untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.
Sebab, dua hal itu tidak dirasakan rakyat di zaman kolonial Belanda sampai Soekarno mengumandangkan proklamsi negara ini. Masyarakat tidak benar-benar merasaksan keadilan dan perlindungan yang di kakukan oleh pemerintah yang jelas-jelas tertera pada undang-undang dasar 1945 yang mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Masyarakat desa yang mempunyai alam yang sangat indah tidak lagi dapat menikmati keindahan alammnya, perempuan desa tidak lagi dapat melihat dodominya, tempat dimana ia lahir, hutan yang menjadi rumahnya, kini telah berubah menjadi pabrik-pabrik dan perkebunan sawit. Perempuan desa tidak lagi dapat bersosialisasi bersama temannya ketika ke pasar tradisional, tempat di mana ia membeli atau menjajakan jualan hasil panennya sekaligus bertemu perempuan petani lainnya atau perempuan nelayan.
Kapitalisme merusak merusak kehidupan termasuk pasar tradisional.Noer Fauzi Rahman, melalui Panggilan Tanah Air hendak menunjukan sisi lain pasar sebagaimana mekanisme yang dianggap normal, alamiah, dan sudah seharusnya demikian. Jarang orang memikirkan secara sungguh-sungguh bagaimana pasar pada mulanya dibentuk oleh perusahaanperusahaan raksasa dengan cara bagaimana perusahaan-peusahaan raksasa pada mulanya memperoleh modal untuk produksi barang-barang dagangan yang kemudian di pasarkan dengan tampilan yang berbeda dan lebih menarik oleh konsumen. Noer Fauzi Rachman berangkat dari pengalaman-pengalaman selama hampir tiga puluh tahun, menyaksikan bagaimana rakyat menghadapi operasi-operasi kekerasan, yang mencakup pelepasan hubungan kepemilikan rakyat terhadap sumber daya alam dan tanah, sumber daya alam
dan wilayah, tata guna dari tanah, serta perubahan posisi kelas dalam hubungan keberadaan sistem produksi baru yang berdiri dan bekerja atas tanah sumber daya alam dan wilayah itu.
Dijalankan oleh berbagai kekuatan dalam rangka menciptakan modal bagi perusahaanperusahaan raksasa, terutama perusahaan raksasa yang bergerak di bidang sumber daya alam, untuk membangun sistem produksi kapitalistik yang menghasilkan barang dagangan untuk diperjual belikan di pasar bagi sebesar-besar keuntungan perusahaan.
Akibatnya, masyarakat desa terdesak dan meninggalkan desanya,memilih melanjutkan hidup di Kota-kota, kemudian mengalihkan fokus ke pendidikan.Motivasi menginggalkan desa berbanding lurus dengan semakin tinggi pendidikan orang desa.Jika makin banyak orang desa yang mengeyam pendidikan tinggi, maka potensi desa ditinggalkan secara besarbesaran semakin pula. Desa ditinggalkan pemuda-pemudi yang pandai. Dunia pertanian dan kehidupan desa bukanlah masa depan yang menjanjikan bagi pemuda-pemudi. Alhasil, masa depan pertanian rakyat bergantung entah pada siapa.
Penguasaan atas tanah rakyat telah terjadi pada zaman kolonial Belanda, dimana pada masa itu, hasil bumi seperti kopi telah menjadi komoditi ekspor yang sangat luar biasa. sehingga Belanda pada masa itu dikatakan seperti gabus yang mengapung di lautan kopi. Desa adalah tempat dimana sumber-sumber kehidupan bermula. Sawah yang membentang luas, gunung yang menjulang tinggi, air sungai yang jernih.
Dunia pertanian dan hidup di desa bukanlah masa depan yang menjanjikan bagi para pemuda-pemudi, padahal masa depan rakyat tergantung pada siapa yang akan bertani (white 2011, 2012). Minat bekerja pada bidang pertanian juga semakin minipis. Banyak sekali lapisan orang miskin di pedesaan, yang mayoritas tidak bertanah dan tidak bisa menikmati sekolah tinggi, harus mengambil resiko dengan cara pergi keluar desa untuk mendapatkan pekerjaan di kota-kota propinsi hingga keluar negeri. Di sana sini, pengalaman pahit hidup kerja sebagai migran mulai kondisi kerja yang tidak layak, penipuan, diskriminasi hingga kekerasan, umumnya mencegah rombongan lain untuk pergi.
Rusaknya sumber air; gundulnya wilayah dataran tinggi dan curam yang penting kedudukannya dalam daur tata air setempat; peracunan hara tanah akibat cara bertani yang mementingkan hasil jangka pendek atau karena pertambangan; pengerukan dan pendangkalan aliran sungai; hilangnnya sumber-sumber hayati, kelangsungan “pelayanan alam” bagi kehidupan yang dikandungnnya; merupakan proses pengawetan sekaligus meluaskan pemiskinan rakyat desa.Dalam janga panjang, hal tesebut adalah ancaman terhadap syarat-syarat keselamatan.
Situasi yang sedang kita hadapi saat ini adalah bagian dari tanah air porak poranda—krisis sosial-ekologi yang parah.Komponen utama krisis itu, sebagaimana pernah di tunjukan oleh Hendro Sangkoyo (1999), adalah keselamatan rakyat yang tidak terjamin, produktivitas rakyat yang menurun, layanan alam yang rusak, dan kesejahteraan rakyat merosot.
Sistem kapitalis telah memasuki kehidupan rakyat Indonesia sejak lama hingga berhasil memporak porandakan kampung halam dengan membangun pasar dan mendatangkan para investor untuk menanam invetasi secara besar-besaran.Para kapitalis telah berhasil mengubah kehidupan sosial rakyat Indonesia. Marx pernah berkata : ‘Proletariat tak akan kehilangan sesuatu miliknya, kecuali budaknya’.
Untuk menjamin penghidupan ekonomi di indonesia dalam kemerdekaan nasional yang mungkin datang kepada penduduk yang bukan proletar harus diberikan kesempatan mengusahakan hak milik seseorang dan perusahaan-perusahaan kapitalis, sudah barang tentu perusahaan – perusahaan besar harus segera dinasionalisir.
Kita harus selalu ingat bahwa buruh Indonesia menurut kualitas san kuantitas ada rendah, sedang orang yang bukan proletar harus diberikan kesempatan mengeluarkan suaranya. Akan ada tepat adanya, jika buruh dalam perang kemerdekaan nasional yang mungkin datang, mewujudkan barisan pelopor bagi sekuruh rakyat Indonesia, maka perusahaan besar akan jatuh di tangannya, dan selaras dengan kekuasaan politik.
Marilah kita sejenak merenungkan nasib saudara-saudara kita kita yang di Papua, Aceh, Kalimantan, yang di Makassar dan lain sebagainya yang negerinya tak seindah dulu, yang telah di porak-porandakan oleh sistem kapitalisme sejak dulu.
Apakah benar Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (pasal 33 UUD1945).
Catatan:Mungkin,sebaiknya penulis (reviewer) membaca lagi tulisan ini secara berulangulang. Tehniknya, hari pertama baca ssebanyak-banyaknya. Besoknya tidak perlu dibaca. Besoknya lagi baru dibaca. Semoga cara ini dapat membantu melihat hal-hal aneh, kekuarang atau kelewatan dalam tulisan kita sendiri. Selamat mencoba.