Review Buku
PANGGILAN TANAH AIR
Penulis : Noer Fauzi Rachman
Penerbit : Prakarsa Desa
Tahun terbit : 2015
Jumlah halaman: 122
Pereview : Nurning Agusriyanti Naris
Buku 144 halaman ini sungguh bacaan yang menarik terutama bagi para pemuda-pemudi tanah air. Penulis
berangkat dari pengalaman-pengalamannya saat menyaksikan modernisasi kapitalis bekerja. Penggambaran akan keresahan-keresahan beliau ketika menilik situasi masyarakat Indonesia terlibat dalam kegiatan ekonomi jual-beli yang dianggap lumrah. Tanpa refleksi, orang-orang di Indonesia berpedoman dengan aturan samar tentang batas-batas apa yang boleh dan tidak boleh dalam kegiatan ekonomi jual-beli yang mereka alami.
Noer Fauzi Rachman terlihat ingin membawa pembaca flash back babak demi babak perubahan ekologi yang negatif, namun dengan penyampaian yang mudah tanpa membuat pembaca bingung akan istilah-istilah asing. Data-data dan histori dalam buku ini menggugah kesadaran pembaca untuk tidak tutup mata akan perubahan sosio-ekologi di tanah air yang lambat laun merenggut kekayaan nusantara. Tiap halamannya membuka ruang imaji pembaca dengan membayangkan kejadian demi kejadian yang berlangsung sejak zaman kolonial masuk ke tanah air menghadapi perlawanan pejuang seperti Soekarno, Moh. Hatta, Tan Malaka dan Moh.Tauchid. Para pejuang tanah air mereprentasikan kecintaan mereka atau romantisme pada tanah air dengan ideologi-ideologi yang indah. Kutukan akan kolonial yang menjadikan tanah tercinta sebagai sumber daya alam untuk komoditas selalu mereka suarakan.
Hingga masa dimana kutukan kolonial yang diperjuangkan menemukan rezim penguasa yang menjadi awal pembuka kembali jalan bagi kolonial. Rezim otoritatian-militer orde baru (1966-1998) yang kembali menjalankan politik kolonial dengan program politik agrarian kolonial. Pada masa rezim inilah kapitalis berkembang secara dinamis di tanah air dalam suatu lingkungan sosial dan alam yang berubah. Buku ini menjelaskan bagaimana kolonial di tanah air mempengaruhi kekuatan politik, pergolakan yang timbul akibat perubahan industrial karena intrik-intrik yang dirancang oleh kapitalis terhadap tanah air. Lebih dari itu, dorongan pokok yang dirasakan berimbas ke masa sekarang adalah kemampuan kapitalis membawa rakyat Indonesia ke era konsumtif hingga membuat candu membeli barang-barang terbaru. Ironi memang ketika mengingat bahwa perjuangan pahlawan dan pejuang lain yang dituliskan dalam buku ini seperti tidak diindahkan oleh generasi sekarang. Rezim pemerintahan setelah ketiadaan pahlawan-pahlawan tersebut memudahkan para industri kapitalis masuk. Seperti lazim adanya di sekeliling kita jika generasi pemuda-pemudi diarahkan untuk tidak kritis, berbudaya malas belajar, dan lebih mementingkan eksistensi belaka.
Noer Fauzi Rachman menggambarkan bagaimana reorganisasi dilakukan secara terus-menerus demi mendapatkan keuntungan untuk perusahaan-perusahaan kapitalis. Menariknya penulis tidak banyak berlindung pada sejarah proses terbentuknya kolonial kapitalis di tanah air, tetapi berangkat dari pengalaman-pengalaman beliau di lapangan yang melihat keresahan masa depan tanah air. Industri kolonial kapitalis diranah agraria membuat sistem-sistem wilayah kerja yang lebih luas melalui operasi-operasi kekerasan. Terutama merampas tanah rakyat dan membatasi bahkan membuatnya tidak bisa memanfaatkan tanah dan sumber daya alamnya sendiri, alih fungsi tanah secara drastis dan dramatis, serta pembentukan komunitas pekerja disiplin dengan kontrak waktu penggerak produksi kapitalis.
Buku ini mengajak pembaca menyaksikan, membuka hati dan mata akan nasib saudara setanah air di desa-desa yang dulunya dikenal sebagai tanah surga. Kini ekspansi sistem-sistem produksi kapitalis memaksa kehidupan mereka berubah. Keberadaan kampung, ladang, sawah, hutan sungai, dan pantai telah diupayakan, sedang dan mungkin akan terus diubah oleh industri pengerukan. Membaca buku ini akan terngiang dengan lagu kolam susu dari Koes Plus. Beberapa kutipan bait yang menggambarkan situasi tanah air “kail dan jala cukup menghidupimu”, lihatlah “tiada badai tiada topan kau temui”, tapi “ikan dan udang menghampiri dirimu”, hingga “orang bilang tanah kita tanah surga”, bahkan “tongkat dan kayu jadi tanaman”, tanah surga katanya.
Semacam seruan tanpa menggurui, penulis mencipta acuan refleksi bagi pembaca untuk tidak apatis akan perubahan-perubahan yang ada di tanah air. Membaca karya ini akan menyadarkan bahwa sebagai orang Indonesia, kita sepatutnya membela dan mempertahankan kekayaan yang diwariskan oleh pendahulu-pendahulu. Refleksi bagaimana pahlawan-pahlawan dahulu sampai berani mati untuk tanah air tercinta. Nusantara kita ini layaknya surga bumi yang perlu diperjuangkan, dijaga untuk anak dan cucu
kelak. Bisa ditelaah dari buku Noer Fauzi Rachman, bagaimana beliau mengkhususkan lampiranlampiran yang menarik tentang naskah-naskah sejarah dari pejuang-pejuang tanah air. Naskah-naskah yang terasa dihilangkan dari lingkungan pemuda-pemudi Indonesia sebagai pewaris semangat pejuang-pejuang saat ini. Buku ini sungguh mengajak para pembaca, khususnya pemuda-pemudi untuk tidak apatis memahami sejarah tanah air. Melakukan perubahan sampai titik merasa, berfikir, memutuskan dan bekerja untuk tanah air sebagai kesadaran mulia yang ingin ditularkan.