Review Buku

PANGGILAN TANAH AIR
Penulis : Noer Fauzi Rachman
Penerbit : Prakarsa Desa
Tahun terbit : 2015
Jumlah halaman: 122
Pereview : Hapziah Ayuk

Situasi Umum Tanah Air Kita
Salah satu permasalahan yang sering kali terjadi di Negara ini adalah permasalahan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Banyak dijumpai masyarakat tereksploitasi di desa yang sudah lama mereka tempati. Kelompok rakyat miskin di berbagai desa, pinggiran kota, daratan tinggi, di pedalaman maupun pesisir dari pulau-pulau. Mereka dilanda kerisauan dan kekhawatiran di dalam kehidupan yang dijalaninya.

Pertanian bukanlah sesuatu yang menjanjikan, dan menetap di desa juga bukan sebuah jaminan yang menjanjikan masa depan bagi pemuda-pemudi. Padahal masa depan pertanian rakyat bergantung pada siapa yang akan bertani, begitu yang disampaikan oleh salah seorang tokoh. Semakin tinggi pendidikan orang desa, maka semakin kuat pula motivasi dan dorongan mereka untuk meninggalkan kampung halaman.

Banyaknya konflik agraria yang sedang dihadapi oleh rakyat Indonesia, seperti konflik lahan wilayah dengan beberapa perusahaan. Siapa kelompok terakhir yang termarjinalkan dari ekspansi perusahaan tersebut? Mereka adalah perempuan-perempuan desa yang tinggal di dekat perusahaan itu. Bagaimana cara rakyat mengusir para kontraktor-kontraktor perusahaan yang telah menghabiskan dan menghancurkan lahan-lahan milik mereka? Lahan yang dulunya dijadikan sebagai sumber mata pencaharian.

Reorganisasi Ruang
Tanah air ini sudah terlalu banyak dikuasi oleh kelompok-kelompok kepentingan. Tanah air ini sudah diporak-porandakan akibat dari reorganisasi ruang yang disebabkan oleh kaum kapitalisme demi kepentingan-kepentingan khusus. Perubahan yang dilakukan oleh kapitalisme dikarenakan adanya dorongan kuat dari kekuatan politik dan pergolakan industrial, meski itu juga bukan pengerak perubahan utamanya.

Reorganisasi ruang dilakukan secara terus-menerus oleh kekuatan yang ingin melipatgandakan keuntungan perusahaan-perusahaan kapitalis. Keuntungan tersebut dihasilkan dari privatisasi tanah dan sumber daya alam, kemudian garis tegas antara penghasil dan pemilik barang yang dihasilkan, serta dari eksploitasi tenaga kerja untuk dapat menghasilkan barang dagangan yang bernilai tambah. Sejak era kebijakan otonomi daerah dimulai, pemerintah daerah tertarik untuk memburu keuntungan yang diperolehnya. Baik dari segi pembagian keuangan pemerintah pusat, maupun dari pemberian izin-izin. Barangbarang yang diperjual-belikan, dihasilkan dari pabrik-pabrik yang lokasinya jauh dari tempat
barang itu dijual.

Merasani “Kutukan Kolonial”
Masyarakat Indonesia, khususnya rakyat yang terlibat dengan permasalahan agraria akibat porak-porandanya tanah air oleh kapitalisme, umumnya akan tahu dan sadar kehadiran pihak yang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi atau misi untuk mengeksploitasi. Dengan begitu, mereka lebih mengetahui apakah berdirinya perusahaan-perusahaan itu akan memberikan modal atau hanya sekedar menghabiskan sumber daya alam. Di sana pentingnya pejuang tanah air untuk membantu rakyat-rakyat kecil yang mudah dibohongi dan ditipu oleh penguasa atau kapitalisme.

Membicarakan kapitalisme bukanlah sesuatu yang baru bagi bangsa ini. Bagaimana kapitalisme bekerja memporak-porandakan tanah air Indonesia sudah sangat gamblang ditunjukkan sejak zaman Soekarno. Arah politik agraria di Indonesia pada masa awal kemerdekaan adalah menghilangkan sisa-sisa feodalisme dan kolonialisme untuk memberi jalan bagi sistem ekonomi nasional, dimana dijelaskan dalam pasal 33 ayat 3. Namun hadirnya kapitalisme mengubah arah kebijakan “land reform”, dari mulanya sebagai agenda besar bangsa untuk mewujudkan keadilan agraria berubah menjadi isu politik yang membelah pengelompokkan sosial-politik. Akibatnya membuat perebutan tanah menjadi basis dari konflik yang lebih luas di wilayah pedesaan Jawa, Bali, sebagian Sumatera dan sebagian Nusa Tenggara.

Kutukan kolonial telah menemukan perwujudannya pada rezim penguasa politik otoriterian militer Orde Baru (Orba). Rezim Orba di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto melalui peralihan kekuasaan yang berdarah-darah di tahun 1905-1966, kembali memberlakukan azas domain. Melalui sistem perizinan (lisensi) yang serupa dijalankan oleh pemerintah kolonial, badan-badan pemerintahan pusat mengkapling-kapling tanah air Indonesia untuk konsensi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan sehingga mengeluarkan paksa penduduk yang hidup di wilayah sekitarnya.

Wilayah-wilayah rakyat yang masuk dalam kawasan hutan Negara, nasibnya bergantung kepada kelompok kategori dimana wilayah rakyat itu berada. Sehingga lisensi-lisensi yang dikeluarkan mencakup mengenai wilayah rakyat tersebut. Cara penduduk menikmati hasil wilayah tanah airnya telah diputus melalui pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pengkaplingan paksa pada wilayah. Dengan demikian, status kepemilikan tanah bukan lagi milik rakyat tetapi milik penguasa. Kapling-kapling dan pemutusan hubungan kepemilikan rakyat atas tanah airnya, merupakan penghentian secara paksa kepada petani atas akses tanah dan kekayaan alam yang dimilikinya. Alhasil tanah dan kekayaan alam itu sudah termasuk ke dalam modal perusahaan-perusahaan kapitalistik. Perubahan tata kelola sumber daya alam turut membawa kepahitan terhadap kaum petani.

Masa Depan Tanah Air, Tanah Air Masa Depan Setelah Orba tumbang, DPR RI dan pemerintah menyadari bahwa penyeragaman nama, bentuk, susunan dan kedudukan desa sudah diatur dalam Undang-Undang. Warisan yang kita dapatkan pada saat ini adalah tanah air yang sebagiannya sudah diporak-porandakan oleh kapitalis, menyebabkan situasi krisis ekologi yang parah. Untuk membangun kembali situasi memperjuangkan tanah air, artinya harus berurusan dengan proyek-proyek pembangunan terutama untuk mengatasi kemiskinan. Menangani krisi sosial ekologi dapat dilakukan melalui tiga pemahaman yaitu : (1) keselamatan dan kesejahteraan rakyat (2) kebutuhan fungsi-fungsi faal ruang hidup, dan (3) produktivitas rakyat.

Masalah agraria merupakan akibat dari kapitalisme. Solusi untuk mengubahnya hanya dengan menjadikan situasi tanah air rakyat menjadi tempat berangkat yang harus diperhatikan, dirawat, dan diurus demi keberlanjutannya. Sehingga tanah air akan menjadi tempat pengabdian. Tidak hanya akan menjadi angan-angan yang belum tentu terwujud, tetapi harus diubah dan menjadi sejarah untuk bangsa Indonesia ke depan.