Review Buku
MENOLAK TUMBANG (NARASI PEREMPUAN MELAWAN PEMISKINAN)
Penulis : Lies Marcoes Natsir
Tahun terbit : 2014
Penerbit : Insist press Yogyakarta
Jumlah halaman : 279
Preview : Tirza Pandelaki
Kata Kunci : Pemiskinan
Bila dapur berasap,itu isyarat batin bahwa kami perempuan sedang berperang. Bila makanan tersedia di atas meja, itu bukti bahwa sampai saat ini kami perempuan tetap berjuang.
Buku ini tersusun atas narasi sederhana tapi padat dan sarat nilai. Dikemas dengan gaya bahasa yang ringan dan disuguhkan secara istimewa melalui foto full color.Di dalamnya terangkum banyak kejadian tentang perempuan yang sepanjang hidupnya berjuang melawan pemiskinan. Dikatakan istimewa karena selain bernarasi,Pembaca dimanjakan sejumlah foto kejadian sehingga pembaca seakan-akan dibawa mengenal keadaan dan tokoh perempuan dalam cerita.
Kejadian-kejadian ini dikumpulkan dari perjalanan penulis selama sembilan bulan, ke delapan wilayah nusantara sejak Maret 2013 antara lain Jawa (Barat dan Timur), Bali, NTB, NTT, Aceh, Kalimantan Barat, Maluku dan Sulawesi. Melalui pengalaman travelling ini, penulis menemukan hilangnya kontrol perempuan atas lahan, sumber ekonomi dan otonomi sejak awal era ‘pembangunan’. Beragam pekerjaan serabutan dilakoni perempuan-perempuan ini sebagai bagian dari proses perlawanan terhadap pemiskinan.
Buku karya Lies Marcoes ini terdiri atas lima babak bahasan. Secara garis besar, pada bagian pertama, pembaca akan memahami dinamika ketidaksetaraan gender yang melahirkan pemiskinan bagi kaum perempuan. Bagian kedua, pembaca disuguhkan dengan isu-isu seputar perempuan yang menyebabkan mengapa harus ada perlawanan. Penulis juga menambahkan konsep daur hidup yang mungkin dialami perempuan miskin. Di bagian ketiga, penulis memperlihatkan bentuk-bentuk diskriminasi yang berbasis gender khususnya di usia produktif pada sektor yang berbeda-beda. Lebih lanjut penulis membahas kemiskinan di usia lanjut untuk mencatat masalah pemiskinan perempuan di sepanjang usia mereka. Pada bagian keempat, penulis memaparkan tentang usaha meretas hambatan dilihat dari aspek hukum dan kebijakan. Bagian kelima, berisi narasi penutup yang memuat catatan akhir sebagai refleksi lapangan. Meski pun dipenuhi gambar warna-warni, sebenarnya setiap gambar terkandung sejuta usaha para perempuan dalam proses pertahanannya atas pemiskinan itu sendiri. Hal ini yang menjadi salah satu titik keunikan buku ini. Dilengkapi pula dengan narasi yang menjelaskan secara detail kejadian yang diteliti penulis mempertegas keadaan tersebut nyata dan memiriskan hati.
Penulis memaparkan dinamika ketimpangan gender berdasarkan hal-hal sederhana yang sering luput dari pandangan yang kelihatannya merupakan satu keadaan biasa di mata masyarakat. Ada keadaan di mana anak lelaki dan perempuan dibedakan berdasarkan jenis pekerjaan yang dikelolanya. Anak laki-laki dan perempuan diberi tugas dan wewenang yang berbeda. Pembagian pekerjaan ini misalnya anak lelaki mencari kayu, berladang, dan menggembala. Sedangkan anak perempuan tinggal dirumah, mencuci piring, dan memasak. Sejak anak-anak konstruksi gender telah dibentuk di keluarga sendiri. Permainan juga merupakan alat yang digunakan untuk mebedakan kedudukan perempuan dan laki-laki. Permainan perang-perangan misalnya, menjadi cerminan maskulinitas yang tentunya dimainkan oleh laki-laki.Sedangkan perempuan mengurus rumah tangga.
Penulis juga menambahkan bahwa pada kasus yang paling ekstrim misalnya kasus hubungan seksual sedarah (incest) yang dilakoni anak-anak perempuan menggantikan ibunya memenuhi kebutuhan biologis sang ayah. Ada juga kasus lain di mana anak perempuan sering mengalami kekerasan seksual yang tersembunyi di balik makna ‘kewajiban kultural’ atas dasar berbakti pada orang tua. Perkawinan paksa di bawah umur hanya terjadi pada anak perempuan, lebih spesifik anak perempuan miskin (lihat hal, 82). Beberapa contoh lain penulis sebutkan untuk memahami kasus gender ini. Di banyak keluarga, anak lelaki menjadi patokan sebagai tempat menggantungkan hidup yang nantinya menjadi tulang punggung keluarga. Di salah satu pulau di Flores, yaitu pulau Palue, misalnya, nilai anak laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Lucunya sebagian besar daerah tersebut dihuni oleh perempuan.
Ini titik keunikan lainnya dari buku berjudul Tolak Tumbang yang berjumlah 285 halaman. Dari beberapa contoh kejadian, penulis mampu menggiring pembaca menyerah pada suatu kesimpulan sebagai bahan kritik, bahwa perempuan sebenarnya sedang melakukan perjuangan terhadap aspek-aspek yang memiskinkan mereka. Membantu suami mengangkat batu dengan bayaran separoh atau pun tidak dibayar sama sekali adalah salah satu bentuk perjuangan perempuan (lihat hal: 99-106). Umumnya perempuan mengambil jalan masuk sebagai pekerja di sektor informal seperti buruh harian, penjaga toko dan segala jenis pekerjaan serabutan lainnya. Inilah yang disebut penulis sebagai kemampuan bertahan (resilience).
Di dunia pertanian maupun perkebunan, kebijakan modernisasi tidak menghitung dampak perubahannya pada perempuan. Fokus di sini adalah modernisasi mengakibatkan perpindahan penduduk (khususnya laki-laki) ke kota menyebabkan perempuan tetap pada tempatnya yaitu mengusahakan hasil pertanian. Ketika laki-laki yang merespon proses modernisasi tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga, lahan persawahan dan perkebunan dijual sebagai jalan terakhir memperoleh penghasilan. Padahal tidak demikian seharusnya.
Pada akhirnya, pemiskinan perempuan terkonstruksi di masyarakat bersembunyi di balik institusi agama, kebudayaan dan hukum untuk mengekang kesadaran kritis dan hak memilih perempuan. Harusnya agama, kebudayaan dan hukum menjadi pelindung terhadap setiap hak-hak dan kebebasan perempuan agar keluar dari pemiskinan. Kekurangan buku ini adalah masalah ketimpangan gender yang diangkat hanya terbatas pada perempuan miskin. Pada hal, perempuan sebagai bagian dari masyarakat, entah di tingkat menengah ke atas maupun ke bawah, juga mungkin mengalami penindasan dan pembatasan ruang gerak yang menyebabkan terjadinya pemiskinan kebebasan dalam mempertahankan dan memperjuangkan kesetaraan gender.