GARUT — Berkeliling ke kebun Pesantren Ekologi Ath Thaariq Garut, Jawa Barat, menjadi kegiatan paling dinanti peserta Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air. Kegiatan di hari pertama Jambore ini, dipandu langsung oleh pendiri pesantren, Nissa Wargadipura.

Puluhan peserta telah berkumpul di halaman pesantren sekitar pukul 07.00 WIB. Nissa kemudian mengajak peserta mengunjungi kebunnya seluas 4.500 meter persegi yang letaknya mengelilingi bangunan pesantren. Dari hasil kebun inilah seluruh kebutuhan pangan keluarga dan santri dipenuhi.

Nissa menjelaskan, lokasi kebun memang diletakkan di sekeliling pesantren agar santri menjadi dekat dengan sumber pangannya. “Kalau mereka ingin makan bisa tinggal petik, kalau ingin masak tidak pusing beli bumbu ke warung,” kata Nissa, Jumat 14 Juli 2017.

Kebun Pesantren Ath Thaariq terbagi dalam beberapa zona yakni zona benih, sawah, pepohonan, herbal dan peternakan. Nissa menyebut kebunnya dengan kebun ‘acakadut’ karena ada berbagai ratusan jenis tanaman di sini mulai buah-buahan, sayuran, bumbu dapur, dan herbal untuk obat. Kebunnya tak ditata layaknya taman, tapi dibiarkan tumbuh apa adanya. “Saya sebut kebun acakadut karena memang berantakan,” kata Nissa yang membangun Pesantren Ath Thaariq pada 2009.

Menurut Nissa, pesantrennya menerapkan polikultur atau menanam banyak jenis tanaman dan diversifikasi pangan. Tujuannya agar santri tidak hanya mengkonsumsi satu pangan tertentu sehingga nutrisi menjadi lebih lengkap dan meningkatkan daya tahan tubuh.

Untuk memenuhi karbohidrat misalnya, Pesantren Ath Thaariq tak hanya mengandalkan nasi. Melainkan juga mengkonsumsi ubi, singkong, talas dan ganyong. Sebagai bumbu dapur, pesantren tersebut menanam laos, tomat, rosella, bawang daun, jeruk perut, kemangi, bawang dan telang ungu. “Ingin makan buah tinggal petik markisa atau cerry,” kata dia.

Semua tanaman itu tanpa pupuk pestisida. Menurut Nissa, kehidupan mikroba di bawah tanah cukup lengkap untuk menumbuhkan berbagai jenis tanaman. Sampah dapur organik pun tak dibuang, tapi dimanfaatkan sebagai pupuk. Nissa juga memberikan tips agar peserta banyak menanam kacang-kacangan karena berfungsi menggemburkan tanah.

Diverfisikasi pangan inilah, kata Nissa, menjadi resep murah untuk mengantisipasi berbagai penyakit seperti diabetet, kolesterol dan asam urat. “Penyakit-penyakit ini muncul karena kita hanya makan itu itu saja. Setiap hari hanya makan nasi, tempe, atau tahu.

” Seluruh peserta nampak antusias mendengarkan cerita Nissa. Sulastri, salah satu peserta mengatakan, apa yang dilakukan Pesantren Ath Thaariq cukup menginspirasi. Tanaman-tanaman yang ia dirawat di pesantren, kata Sulastri, ternyata banyak tumbuh di kampungnya. “Tapi selama ini kami anggap tak berguna,” kata perempuan dari Liang Buaya, Muara Kaman, Kalimantan Timur.

Muryati, peserta lain dari Sulawesi Selatan, mengatakan senada. Dari pesantren Ath Thaariq dia belajar bagaimana mengolah tanaman yang tumbuh di sekitar sebagai makanan bergizi.

Bahkan Merry Kefe asal Mollo Nusa Tenggara Timur berniat akan mengumpulkan kelompok taninya untuk menanam lebih banyak tanaman di lahan. (IKA NINGTYAS)