Review Buku
Mencari Makroman Di Tanah Pinjaman
Penulis : Siti Maimunah
Penerbit : Sajogyo Institute
Tahun terbit : 2014
Jumlah halaman : 101
Pengulas : Syiqqil Arofat
Kata Kunci : Samarinda, Perubahan Agraria, Industri Ekstraktif Batu Bara
Perjuangan Komunitas, Tutur Perempuan
Pendahuluan
Tulisan Maimunah (2014) mengulas secara kritis tentang dinamika ekonomi politik yang melatari terjadinya perubahan pengelolaan lahan di Kelurahan Makroman, Kecamatan Sambutan Kota Samarinda Kalimantan Timur, dari pola pertanian menjadi pertambangan batu bara, beserta berbagai konsekuensinya terhadap petani lokal, terutama terjadinya marginalisasi petani perempuan. Dengan menggunakan pendekatan etnografis melalui tuturan dan pengalaman perempuan, Maimunah mampu menelusuri terjadinya perubahan agraria dan dampaknya di tingkat lokal. Pertambangan batu bara telah menghasilkan perluasan krisis sosial, ekonomi dan ekologi yang berdimensi gender. Perubahan agraria tersebut tidak lepas dari kelindan relasi kuasa antara elite pemerintah dan pengusaha tingkat makro (nasional/propinsi/kabupaten) dan berbagai strategi pengembangannya di tingkat lokal, sehingga terjadi perubahan posisi aktor, baik yang diuntungkan maupun dirugikan, dalam perubahan agraria tersebut.
Reorganisasi Ruang: Kelindan Relasi Kuasa
Di tingkat nasional, terdapat kebutuhan peningkatan energi fosil (batu bara) untuk pembangunan dan pengembangan ekonomi makro dalam rancangan MP3EI. Kebutuhan terhadap energi fosil ini pula yang melegitimasi pengembangan investasi dalam industri batu bara, tanpa memedulikan terjadinya krisis ekologis yang memiskinkan petani lokal. Di tingkat kabupaten, banyak elite pemerintah lokal berlatar pengusaha sehingga cenderung mengeluarkan kebijakan yang memuluskan industri batu bara. Pada tahun 2001, Pemerintah Kota Samarinda dalam kepemimpinan Achmad Amins dan Sahari Jaang mengeluarkan satu ijin tambang batubara seluas 87,52 hektar, pada 2005 bertambah menjadi 38 ijin seluas 20.323,1 hektar, dan naik pada 2009 menjadi 76 ijin seluas 27.556,66 hektar.
Misalnya, Abun adalah pengusaha yang banyak membeli tanah di Makroman. Dia menjabat sebagai bendahara Partai Demokrat pada tahun 2012. Abun juga menjadi pendukung utama Achmad Amins, Walikota Samarinda dua periode sejak 2000 – 2010. Pada 9 Januari 2012, tambang PT Samarinda Golden Prima (SGP) milik Abun, telah mengakibatkan banjir lumpur yang menenggelamkan enam RT di Kelurahan Simpang Pasir, namun tidak ada tindakan tegas secara hukum dari pemerintah daerah. Selain Abun, Walikota Samarinda Achmad Amins juga berelasi dengan Pemuda Pancasila (PP) Kalimantan Timur yang dipimpin Said Amin, seorang pengusaha yang memiliki bisnis pengamanan, kayu, tambang, serta mengelola pesantren “Nabil Husein”. Abun dan Said Amin menjadi pendukung utama Achmad Amin selama menjadi pejabat. Kedua orang ini pula yang menentukan keputusan penting, termasuk beragam proyek tambang di Samarinda. Bahkan sekitar 26,7% anggota DPRD 2009 – 2014 adalah pengusaha, termasuk batubara.
Di tingkat lokal, lahan bergeser fungsinya menjadi komoditas, sehingga banyak tanah di Makroman dimiliki pengusaha, bukan petani. Banyak cara dilakukan untuk membuat tanah berpindah tangan. Salah satunya dengan memanggill tokok-tokoh lokal, meminta mereka mencarikan tanah dan akan digaji bulanan, setelah didapat tanah disertifikat, seperti yang dilakukan Abun yang memiliki tanah di beberapa tempat. Selain itu, jual beli tanah berkembang menjadi beragam model. Misalnya, Fee adalah model pembagian hasil yang diberikan perusahaan kepada warga yang tanahnya bersedia digali untuk mendapatkan batubara. Model kontrak dilakukan dengan menyewakan tanahdalam beberapa waktu kepada perusahaan.
Krisis Ekologis dan Marginalisasi Perempuan
Seiring kian banyaknya penambangan di Smarinda, kerusakan lingkungan pun semakin meluas. Banyak tanah dilepaskan akibat meluasnya daya rusak pertambangan batubara. Misalnya, kebun Aisyah yang sering tergenang lumpur batubara, sehingga terpaksa dikontrakkan pada CV arjuna selama 3 tahun seharga Rp 30 juta. Cerita Norman juga menunjukkan susahnya memperoleh air irigasi pertanian setelah banyaknya tambang batubara, sehingga memutuskan menjual tanahnya kepada CV Arjuna. Tidak sampai dua tahun sejak datangnya tambang batubara CV Arjuna pada 2006, bukit-bukit menjadi lubang, air berubah keruh, banjir lumpur di musim hujan, yang berakibat gagal panen dan matinya ikan-ikan di kolam. Selain meninggalkan lubang-lubang bekas tambang, jalan houling yang tak hanya beresiko kecelakaan, tapi juga menebarkan debu yang mengganggu saluran pernafasan. Terbukti, pennyakit yang paling banyak di derita di lingkar tambang batubara adalah gangguan pernafasan.
Terlebih, perempuan paling merasakan dampak dari kerusakan sumber air. Pekerjaan perempuan lebih banyak juga tersedia di pertanian. Misalnya, selain ngeramban, Sukiyem biasanya menjadi buruh tani. Berkurangnya lahan pertanian karena berubah menjadi lahan tambang, secara tidak langsung menghilangkan kerja-kerja perempuan di pertanian, mulai nanam, maton dan panen. Sejak maton digantikan dengan pestisida, pekerjaan perempuan pun tidak dibutuhkan.
Kesimpulan
Tulisan Maimunah (2014) ini berhasil mengulas secara luas berbagai aspek yang melatari perubahan agraria dan konsekuensinya terhadap petani perempuan di Kelurahan Makroman. Kajian ini penting dilakukan untuk mengungkap proses pemiskinan terhadap petani perempuan, meski seperti diakui juga oleh Maimunah bahwa penelitian ini tidak menelusuri tuturan perempuan yang mendukung industri penambangan. Keragaman respon perempuan beserta alasan-alasannya nampaknya belum diulas dalam tulisan ini. Sehingga terdapat persoalan yang perlu didiskusikan: kenapa dengan besarnya krisis ekologis dan dampaknya pada perempuan masih belum mampu menggerakkan banyak perempuan untuk melakukan aksi penolakan terhadap penambangan? Terima kasih.