Review Buku


Mencari Makroman Di Tanah Pinjaman

Penulis : Siti Maimunah

Penerbit : Sajogyo Institute

Tahun terbit : 2014

Jumlah halaman : 101

Pengulas : Debby Manalu

Kata Kunci : Samarinda, Perubahan Agraria, Industri Ekstraktif Batu Bara

Perjuangan Komunitas, Tutur Perempuan

Pulau Kalimantan menjadipusatpengerukanbatubara.Pulauinimemiliki 51,2 persen cadangan batu bara Indonesia, sekitar 72 persennya ada di provinsi Kalimantan Timur, sisanya 23,7 persen di Kalimantan Selatan, sekitar 3,1 persen, dan Kalimantan Tengah dan 1 persen di Kalimantan Barat (MP3EI, 2010:101). Dari tahun ketahun, produksi batu bara ini meningkat di Kalimantan Timur. Sepanjang 2009 – 2011, meningkat dua kali lipat dalam tiga tahun dari 123.256.163 ton pada 2009, menjadi 140.753.374 ton pada 2010 dan 204.989.756 ton pada 2011.

Pada 2009 – 2010, produksi Kaltim mencapai 53 – 55 persen produksi batu bara Indonesia (RAD-GRK Kaltim, 2012: 26) Kalimantan Timur sejak lama menjadi jejak pengerukan batu bara dunia, khususnya sejak penjajahan Belanda dan Inggris atas Kesultanan Kutai. Di Inggris, pada 1700-an, saat tenaga otot manusia dan hewan, juga air dan angin tak mampu lagi menjadi mesin produksi, dan batu bara menjawab kebutuhan itu. Revolusi Industri lahir bersama penemuan batu bara. Batu bara tak hanya menjadi bahan bakar mesin secara harfiah, tapi juga mesin investasi.

Pemerintah mengumbar janji kepada masyarakat di sekitar tambang bahwa akan menyejahterakan warga lewat lapangan pekerjaan dan pembangunan infrastruktur. Seperti yang terjadi di Samarinda, pengerukan batu bara yang dilakukan secara masif bersamaan dengan pembangunan infrastruktur di perkotaan telah melahirkan krisis sosial, ekonomi dan ekologi, yang memburuk dari waktu ke waktu. Sepanjang 2011 – 2016 dua puluh lima korban meninggal di lubang tambang Kalimantan Timur.

Kelurahan Makroman di Kecamatan Sambutan merupakan salah satu kelurahan di daerah hulu yang tak luput dari bencana akibat pengerukan batu bara. Mayoritas warga Makroman adalah transmigran dari pulau Jawa, yang datang sejak 1955. Pada 1970an, mereka membuat sawah di lahan rawa Kalan Luas (secara literal berarti padang luas). Kala itu, secara bergotong royong mereka membuat pematang sawah. Belakangan pada 1980 hingga 1990-an, berbagai proyek padat karya dan pembuatan saluran irigasi dijalankan pemerintah yang menjamin air tersedia sepanjang musim, yang sejak itu mereka bisa panen dua kali setahun. Kawasan ini kerap menjadi tempat percontohan pemerintah untuk mempromosikan pertanian revolusi hijau.

Kemudian sejak datangnya tambang batu bara CV Arjuna pada 2006, terjadi diferensiasi sosial dan spasial. Bukit-bukit menjadi lubang, air yang dulunya jernih berubah keruh, musim hujan kerap banjir lumpur, yang berakibat gagal panen dan ikan-ikan di kolam mati. Tak hanya itu, musim hujan pun kini krisis air. Dua tahun terakhir warga terpaksa meminta perusahaan memompa air dari lubang tambang mengairi sawah-sawah dan kolam ikan, hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Sejak ekonomi pemerintah daerah Samarinda bertumpu pada tambang batu bara, warga Makroman menjadi tak berdaulat terhadap tanah dan airnya.

Celakanya, perempuan sangat merasakan rusaknya sumber-sumber air. Di ujung RT 13, Ibu Nurbaiti, 43th, yang dulunya mengambil air dari parit-parit sawah dan hutan, jalan, dan tepian sawah, yang terkumpul dalam lubang-lubang dangkal. Kini rumahnya hanya sekitar 500 meter dari lubang tambang batu bara CV Arjuna. Saat hujan deras, lumpur dari tambang mengalir dan masuk menggenangi rumahnya. Hingga sekarang, bekas genangan itu masih terlihat.“Dulunya air di parit di sawah dan sungai-sungai kecil airnya jernih, bisa digunakan untuk mandi dan mencuci, tapi sejak ada perusahaan tambang, tak bisa lagi, airnya keruh”, keluhnya.

Alih fungsi lahan menjadi batu bara dan intensitas banjir di Samarinda ternyata semakin membanyak paska otonomi daerah. Ijin tambang yang berjibun membuat Samarinda defisit hutan kota, tersisa hanya 0,8% dari luasan kota sehingga tak cukup lagi memegang serbuan air hujan dari hulu dan sungai. Banjir kini langganan warga kota. Satu kali kejadian banjir bisa menggenangi 14.000 keluarga. Banjir semakin sering terjadi. Kini bisa 4 kali setahun. Sepanjang 2007-2011, Jatam Kaltim mencatat 72 kali banjir menyerang Samarinda.

Kelurahan Makroman banyak terdapat transmigran, transmigran datang sejak 1953 – 1973. Susahnya kehidupan di awal transmigrasi mempengaruhi dinamika kepemilikan lahan, tata guna lahan, mata pencaharian dan respon warga dari waktu ke waktu. Respon yang dimaksud adalah tindakan saat mereka menghadapi masalah di tempatnya yang baru. Namun kemudian ada model-model kepemilikan lahan di Makroman menunjukkan, dari waktu ke waktu warga Makroman makin liberal dalam memandang tanah. Jika dua model sebelumnya tanah masih dipandang dan digunakan sebagai alat produksi, baik untuk bersawah dan berkebun, maka dua model terakhir sudah memperlakukan tanah atau lahan sebagai komoditas dagang, bukan alat produksi pertanian, tapi alat akumulasi kapital.Model akumulasi kapital yang dilakukan dalam skala petani hingga korporasi. Model perdagangan tanah lainnya adalah jual beli yang dikenal biasanya. Bedanya, jika jual beli tanah dulu dilakukan untuk tujuan berproduksi, mengolah dan merawat lahan yang dibeli menjadi sawah dan kebun. Pada tahun-tahun berikutnya bergeser menjadi penumpukan lahan untuk tujuan jual beli. Lahan bergeser menjadi komoditas. Itulah mengapa banyak tanah-tanah di Makroman dalam jumlah luas justru dimiliki pengusaha, bukan petani. Jual beli ini berkembang menjadi beragam model, seperti model penjualan kapling tanah.

Kemudian ada warga Makroman mengenal juga sistem kontrak dan fee untuk model pemilikan lahan. Model ini diperkenalkan oleh perusahaan tambang batu bara, khususnya CV Arjuna saat menggali lubang pertamanya, Pit 6 pada sekitar 2008. Fee adalah model pembagian hasil yang diberikan perusahaan kepada warga yang tanahnya bersedia digali untuk mendapatkan batu bara. Model bagi hasil ini menghitung berapa sang pemilik tanah mendapat bagian dari 1 ton batu bara yang digali dari tanah mereka.

Kemudian setelah perusahaan batu bara CV. Arjuna masuk di kelurahaan Makroman mengakibatkan Banjir ini menghantam sawah-sawah, parit-parit yang mengalirkan air bersih, kolam-kolam ikan, kebunkebun, sumber-sumber air dekat kebun dan hutan, halaman rumah, dan ternak di rumah dan kandang. Dan krisis air, sawah-sawah dan kolam kekurangan air. Lahan-lahan yang tidak ditambang pun, namun berada dikawasan bawah mengalami dampak yang tak kalah serius secara sosial ekonomi, sosial dan ekologis.

Untuk kewajiban perusahaan untuk melakukan reklamasi tidak dilakasan akan ada sembilan lubang tambang dengan luasan dan kedalaman bervariasi di kelurahan Makroman. Lahan-lahan itu rusak permanen. Ganguan kesehatan juga mengancam warga di Samarinda berdasarkan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Kalimantan Timurpada 2012.Penderita HIV/ AIDS, dan data Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda, 2010) yang mencantumkan peringkat 10 penyakit yang paling banyak di derita warga Samarinda, masing-masing adalah ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan Akut, Gastritis/ disperia, Myalgia ataurheumatoid, hipertensi, Pharangitis, Penyakit regeneratif, tonsilitaa, penyakit pulpa dan perapikal serta penyakit infektiflainnya. Untuk lahan – lahan yang dulu produktif untuk ditanami sayur-sayur sekarang sudah hilang dan lapangan pekerjaan perempuan untuk di pertanian setiap hari sudah tidak ada.

Kesimpulan

Dari sejarah nama Makroman, yang dihormati dan dimuliakan merupakan harapan warga Makroman yang dating dan hidup disana, agar menjadi terhormat dan mulia. Namun saat ini datangnya pertambangan batubara, yang merusak tatanan kehidupan mereka, yang menjauhkan dari harapan dan cita-cita semula. Mungkinkah Makroman menjadi tanah harapan lagi bagi warganya ?