Penulis: Alexander Dunlap
Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan Undisciplined Environments pada 3 Maret, 2020 dalam Bahasa Inggris di https://undisciplinedenvironments.org/2020/03/03/monster-megaprojects-are-consuming-the-world/
Penerjemah: Agus D. Hastutik, Rivan R. Markus dan Tim Reviewer*
Dunia saat ini mengalami degradasi, konflik dan dampak iklim kumulatif luar biasa yang disebabkan oleh ekspansi industrial. Kenyataan ini menuntut pengistilahan baru untuk megaproyek ekstraktif dan infrastruktur. Alih-alih disebut sebagai “pembangunan”, mereka lebih cocok disebut ‘cacing’ dan ‘gurita’ iblis, serta konstruksi para pemangsa-dunia (Worldeater(s)).
Buku baru karya Jostein Jakobsen dan saya, The Violent Technologies of Extraction: Political Ecology, Critical Agrarian Studies and the Capitalist Worldeater menawarkan sebuah saran provokatif dan tak lazim. Buku ini membahas konvergensi antar disiplin (studi Politik Ekologi dan Agraria Kritis), teknologi ekstraktif yang sarat dengan kekerasan, dan praktik ekstraktif (berlabel “hijau” dan konvensional).
Buku kami (hal.8) menyebutkan, “perubahan iklim, yang dimaknai dengan kerangka teknokratis dan menempatkan kekuatan agensi ke tangan para ahli ilmuwan iklim, pemerintah, perusahaan, dan LSM; tidak cocok digunakan untuk memaknai malapetaka yang terus memburuk. Sementara, krisis, telah menjadi ciri permanen dan dianggap normal oleh masyarakat era tekno-industri yang, bisa kita katakan, sama alamiahnya dengan kapitalisme itu sendiri. Kita telah diatur oleh ‘krisis’, dan hal ini menuntut kita untuk mencari dan mencermati kerangka-kerangka alternatif (untuk memaknai perubahan iklim).”
Pengukuran, penghitungan, dan peningkatan kewaspadaan terkait penyebaran limbah industri, situs ekstraktif, dan degradasi iklim sudah sangat banyak dilakukan. Akan tetapi, proses-proses ekstraktif dan turunannya terus berlanjut tanpa adanya perlawanan yang signifikan. Bahasa yang digunakan untuk membahas malapetaka ekologi tetap steril (terlepas dari kehidupan nyata), kehilangan tekstur dan makna dalam kehidupan masyarakat.
Sebagian besar gerakan lingkungan dan sosial arus utama tetap terpisah dan tidak tertarik pada perjuangan eko-anarkis dan pertahanan tanah masyarakat asli (adat dan lokal). Sebagai gantinya mereka memilih budaya protes yang muncul dari media sosial, melakukan selfie dan identitas aktivis yang didukung oleh elit, yang tetap tidak peduli dengan strategi pemberontakan dan rekayasa sosial yang ada yang dirancang untuk membuat mereka kekanak-kanakan dan tidak berdaya.
Perjuangan melawan malapetaka ekologis dan iklim itu berbahaya dan kompleks. Oleh karenanya, mengikuti Freddy Perlman, The Violent Technologies of Extraction bahwa manusia dan makhluk hidup lain sedang menghadapi serombongan makhluk buas yang membentuk “Pemangsa-dunia” atau “zaman Pemangsa-dunia” untuk memangsa Bumi dan penghuninya. Para Pemangsa-dunia “lebih tepat dalam memaknai kompleksitas persoalan yang dihadapi umat manusia” dan “agensi manusia” karena dia memiliki pengikut untuk membantu dan menjalankan tubuh infrastruktur yang terpenggal-penggal.
Dengan membahas tubuh Pemangsa-dunia, artikel pendek ini berupaya mengidentifikasi dan membayangkan mega proyek sebagai monster yang memangsa dunia dan mengatur mekanisme malapetaka ekologis. Ungkapan ini tidak main-main belaka, tapi juga mengakui tentang proses normalisasi dari perkembangan industri yang menjalarkan tentakel Pemangsa-dunia mengeliling manusia dan makhluk lain di dunia ini. Dengan menganggap bahwa infrastruktur ‘cacing’ dan ‘gurita’ adalah embrio ‘Pemangsa-dunia’, uraian berikut ini menawarkan sebuah cara baru untuk memaknai pembangunan megaproyek.
Megaproyek ‘cacing’ dan ‘gurita’
Proyek pembentukan negara adalah sebuah proyek kolonial. Infrastruktur industrial menyatukan rerangkai kolonial-negara-kapitalis. Terlepas dari tingkat identifikasi diri yang beraneka ragam atau dukungan populer dari berbagai tingkatan kelompok, pengembangan tekno-infrastruktur adalah sebuah metode dimana bentang-bentang alam dijajah, dan orang-orang ditaklukkan.
Perampasan infrastruktur secara umum sangat mungkin terjadi. Namun perlu kita akui daya pikat dan kenyamanan yang ditimbulkan bisa merampas manusia. Secara perlahan dan bertahap, perampasan ini akan membentuk dan membentuk-ulang persepsi psikogeografis dan nilai-nilai budaya mereka. Perjuangan melawan pembangunan infrastruktur terjadi di mana-mana, dengan intensitas konflik yang beragam, dicontohkan oleh budaya masyarakat asli mempertahankan tanahnya di seluruh dunia, dan oleh konsep Zones-to-Defend (ZAD) di Prancis. Perlawanan terhadap pembangunan infrastruktur ini membutuhkan cara yang akurat untuk memaparkan apa yang dilakukan megaproyek-megaproyek terhadap ekosistem dan planet bumi.
Buku Freddy Perlman Against His-Story, Against Leviathan (1983, hlm. 189, 29) menggambarkan pembangunan negara sebagai sebuah “cacing raksasa” dan “gurita jejadian”. Perlman melakukan antromorfis penaklukan negara pada manusia yang juga berlaku untuk pembangunan megaproyek. Penggambaran pembangunan negara beroperasi pada sebuah skala yang lebih kecil melalui kolonisasi infrastruktur yang mendominasi habitat, menjinakkan manusia dan membudidaya homogenisasi sosial-budaya melalui ekspansi infrastruktur yang menyerupai cacing dan gurita.
Perlman menjelaskan, robot cacing raksasa merangkak di permukaan bumi “mengakumulasi” manusia ke dalam proyek politik ekonominya, membangun infrastruktur, dan menyusun ulang bagian-bagiannya untuk mereplikasi dirinya sendiri. Mengambil perjuangan melawan pembangunan di Prancis sebagai contoh, The Notre-Dame-des-Landes ZAD, melawan pembangunan bandara, menyerupai perjuangan lokal melawan megaproyek “cacing”: yang secara langsung mendominasi dan mencekik lahan yang luas dengan aspal, bangunan, dan seluruh peralatan buatan yang menyerupai cacing yang dioperasikan oleh manusia.
Modalitas megaproyek cacing itu berlaku juga pada bendungan, pertambangan, pabrik, pelabuhan, reaktor nuklir, pembangkit listrik tenaga matahari dan batu bara. Atribut utama dari infrastruktur cacing adalah tingginya kepadatan dan penguasaan sebagian besar lahan dan sumber daya vital dengan dampak sosio-ekologis yang terus datang dan tak terelakkan. Modal adalah darah yang mengalir melalui binatang-binatang buas itu, ketika ‘cacing’ berfungsi sebagai sebuah simpul pusat bagi konsumsi sosial-ekologis yang vital.
Sementara itu, gurita jejadian merentangkan “tentakel-tentakelnya ke segala penjuru bumi,” di mana “Dunia Baru menjadi seperti Dunia Lama. Atau mungkin, Dunia Baru dimangsa oleh Dunia Lama, yang tidak lagi menjadi entitas yang terpisah, semuanya menjadi bagian dari satu kerajaan komersial” (hlm. 279). Megaproyek gurita mengkonsumsi ruang dengan cara berjejaring dan (secara administratif) terdesentralisasi untuk mempromosikan arus komersial dan politik. The L’Amassada Commune di Aveyron, Perancis, mewakili perjuangan melawan penyebaran infrastruktur “gurita” (lihat gambar).
L’Amassada memblokir pembangunan sebuah gardu energi dan kabel tegangan tinggi sebagai perlawanan terhadap intensifikasi proyek pembangkit listrik tenaga angin dan matahari (atau lebih tepatnya, bahan bakar fosil+). Infrastruktur gurita yang tampaknya tak berbahaya, seperti taman turbin angin (sebenarnya berbahaya). Infrakstruktur ini dimulai dengan mengambil alih ruang dengan membentengi dan membangun akses jalan. Hal ini mempengaruhi komposisi tanah dan tabel hidrologis, bersamaan dengan pengosongan habitat, tidak hanya untuk jalan raya, tapi juga kabel-kabel tegangan tinggi dan lokasi pembangunan turbin-turbin angin.
Mesin-mesin turbin angin, tergantung pada keadaan geografis, memiliki pondasi dengan kedalaman antara 7-14 meter dan luas 16-21 meter. Ini artinya, setiap air tanah seperti pada kasus Tanah Genting di Tehuantepec harus disedot dengan bahan pelarut kimiawi untuk mengeraskan tanah. Dengan menempatkannya di dekat atau di dalam wilayah laut, turbin-turbin memiliki dampak lebih parah dari gelombang elektromagnetik, getaran-getaran, gelombang suara, dan suar peringatan untuk pesawat pada udang, ikan, penyu, dan makhluk laut lainnya.
Begitu turbin-turbin angin beroperasi, mereka membunuh banyak unggas dan secara sistematis membocorkan minyak dari baling-balingnya yang dilaporkan telah memicu kematian dan kemandulan sapi. Semua ini terjadi di balik megaproyek ‘cacing’ yang menambang bahan-bahan mentah, mengolah logam dan memproduksi komponen-komponen untuk turbin angin. Kegiatan ini juga termasuk penonaktifan yang berujung pada luberan limbah infrastruktur dan elektronik.
Dengan mengambil lebih banyak ruang, infrastruktur ‘gurita’ mendominasi bentang-alam dalam konsentrasi spasial strategis dan berjejaring untuk mengedarkan bahan-bahan, energi dan modal, sembari mendayagunakan jejaring-kerja yang tersebar untuk menguasai ruang. Jalan raya, jaringan perpipaan, perkeretaapian, infrastruktur energi, dan turbin-turbin angin membentuk tentakel dan cawan hisap dari infrastruktur gurita. Kepala ‘gurita’ adalah pusat kendali dan penghubung di jantung infrastruktur ‘cacing’, seperti Smart City, taman turbin angin, dan ruang kontrol jaringan listrik.
Infrastruktur ‘gurita’ dan ‘cacing’ beroperasi pada skala atau tahap pertumbuhan yang berbeda. Modalitas kolonisasi infrastruktur ini telah berubah bentuk secara perlahan, berjejaring dan mewujudkan penaklukan politik ekonomi di seluruh ruang sosio-ekologis. Bersama-sama, mereka memberi kehidupan pada Pemangsa-dunia, sang Leviathan yang digambarkan kuat secara puitis oleh Freddy Perlman.
Mengapa ‘cacing’, ‘gurita’, dan pemangsa-dunia?
Manusia perlu mengubah hubungan-hubungannya dengan infrastruktur tekno-kapitalis. Dua abad terakhir dapat digambarkan sebagai ketergantungan pada energi intensif dan infrastruktur merusak yang dipaksakan dan dibiasakan. Hal ini selaras dengan upaya penghapusan budaya, pengobatan, serta praktik dan rancangan infrastruktur ramah yang ekosentris.
Trajektori pembangunan semacam ini terus berlanjut dengan minim refleksi, bahkan dalam menghadapi malapetaka ekologis dan iklim. Biang kerok dan akar permasalahannya perlu diidentifikasi. Selain itu, infrastruktur yang menuntut rantai pasokan global dan energi intensif dan bentuk-bentuk pengupahan dan kerja paksa perlu diakui dalam istilah negatif: ‘cacing’ dan ‘gurita’ cybernetic gila yang memiliki dan memakan sumber daya manusia dan non-manusia.
Saat ini kita sedang menyaksikan sebuah proses progresif memangsa-dunia (komodifikasi, degradasi, dan pengrusakan). Tidak terlihat tanda-tanda dia sedang melambat, apalagi berhenti dalam waktu dekat. Sudah saatnya bagi kita untuk melihat rangkaian proses-proses ini secara negatif: jangan lagi gunakan istilah-istilah teknis dan akademis untuk menampakkan pemakluman, mempromosikan pesona mereka dan mempromosikan ketergantungan yang dinormalisasi, serta biaya-biaya sosio-ekologis. Ini adalah sebuah percakapan tentang jahatnya ‘cacing’, ‘gurita’ dan para pemangsa-dunia (Worldeaters).
Alexander Dunlap is a post-doctoral fellow at the Centre for Development and the Environment (SUM), University of Oslo. @DrX_ADunlap.
Gambar yang ditampilkan di artikel: Ilustrasi pada Poster demonstrasi L’Amassada, 2017 melawan jaringan transmisi RTE. Kredit: Anaïs.
*Tim reviewer adalah penanggungjawab untuk mereview penerjemahan artikel pilihan dari https://undisciplinedenvironments.org/ ke Bahasa Indonesia. Tim saat ini terdiri dari:
Siti Maimunah: Pendiri Ruang Baca Puan, Mahasiswa S3 di Universitas Passau, Jerman, WEGO-ITN/ Marie Sklodowska Curie Fellow (www.wegoitn.org), siti.maimunah@uni-passau.de
Anton Novenanto: dosen Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya; co-founder dan Direktur Eksekutif Perkumpulan Peneliti Eutenika, nino@ub.ac.id
Mardha Tilla: Associate RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment, mardhat@gmail.com
Dian Ekowati: Mahasiswa S3 di Universitas Brighton, UK,
Well Being, Ecology, Gender and Community Network (WEGO-ITN)/ Marie Sklodowska Curie Fellow