Review Buku

MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS INDONESIA – (MP3EI)
Penulis : Dian Yanuardi Dkk
Tahun Terbit : 2014
Penerbit : Sajogyo Institute
Jumlah Halaman : 230
Preview : Kristina Pakpahan

MP3EI, Mensejahterakan atau Menindas?
“Kawasan hutan yang dulu hijau dan rapat, sejauh mata memandang terlihat memerah, debu pekat nan tajam akan bertiup seperti bekas ledakan ‘bom atom’.”

Mempertimbangkan berbagai potensi dan keunggulan yang dimiliki, serta tantangan pembangunan yang harus dihadapi, Indonesia memerlukan suatu transformasi ekonomi berupa percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi menuju negara maju. Langkah tersebut dilakukan agar Indonesia dapat meningkatkan daya saing sekaligus mewujudkan kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan langkah awal untuk mendorong Indonesia. Perlu “dicatat”, ini menurut pembuat naskah MP3EI, pejabat publik, dan para pendukungnya.

Buku ini menjelaskan tiga hal strategi utama yang akan dijalankan untuk proyek MP3EI; Pertama, pembentukan koridor ekonomi yang dilakukan dengan cara mengorganisasikan ulang kepulauan di Indonesia dengan mengidentifikasi komoditas-komoditas global yang bisa dihasilkan. Kedua, meningkatkan konektivitas nasional dengan tujuan menghubungkan berbagai aktivitas ekonomi di seluruh koridor melalui aktivitas ekonomi regional dan global. Ketiga, penguatan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, dan teknologi nasional dimana sumber daya manusia yang produktif merupakan penggerak pertumbuhan ekonomi.

Dalam MP3EI yang dilihat adalah sumber daya alam, bukan manusia. Padahal semua kehidupan adalah komoditas. Dengan demikian, orang-orang yang peduli dengan kehidupan manusia hadir untuk menuliskan buku MP3EI terbaru sebagai “tandingan” dari buku MP3EI yang ditulis para penguasa. Buku versi para penulis ini ditulis untuk melihat seperti apa proyek-proyek MP3EI versi penguasa, dan apa akibatnya secara sosial-ekologis.

Melalui hasil riset dan kerjasama dengan lembaga atau individu di beberapa provinsi di Indonesia, penulis menghasilkan pendapat dan pandangan yang berbeda. Oleh karenanya, buku ini ditulis dengan tujuan untuk menjungkir-balikkan keyakinan mereka yang membuat naskah MP3EI. Pejabat publik dan para pendukung lainnya akan ditunjukkan bahwa proyek-proyek investasi berbasis sumber daya alam yang dipercepat pelaksanaannya, dan diperluas jangkauannya telah berakibat pada semakin parahnya krisis sosial-ekologis yang dialami oleh masyarakat. Tulisan-tulisan tersebut merupakan sebuah keberhasilan karena telah mengungkapkan temuan-temuan lapang.

Karya Dian Yanuardi, Dkk menuturkan bagaimana negara indonesia yang hampir di seluruh belahannya telah mengalami krisis sosial ekologis. Diantaranya seperti di Morowali Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Bekasi, NTT, Teluk Halmahera, Kalimantan Selatan. Ini hanya sebagian daerah-daerah yang disebutkan melalui hasil riset. Sebenarnya masih banyak daerah lainnya yang mengalami krisis sosial ekologis, namun belum dilakukan riset atau sudah dilakukan riset tetapi belum dituliskan dalam buku ini.

Krisis sosial ekologis terjadi karena adanya perampasan tanah masyarakat oleh para pemilik modal. Mereka kemudian menyulapnya menjadi sebuah lahan yang menghasilkan komoditas. Di Morowali tanah, yang dirampas telah berubah menjadi lahan pertambangan nikel. Sedangkan di Sumatera Utara, lahan telah menjadi perkebunan dan bentuk krisis ekologis lainnya.

Perampasan ini semakin memperkaya para kapital yang kemudian memiskinkan masyarakat. Kehadiran para kapital kemudian dibenarkan oleh adanya kebijakan-kebijakan pemerintah untuk melegitimasi, mengamankan kepentingan-kepentingan perusahaan.
Selain legitimasi tersebut, perampasan dilakukan dengan berbagai cara seperti memanipulasi harga tanah dan ganti rugi serta pengusiran. Sistem penguasaan tanah masyarakat oleh para pengusaha dilakukan dengan mengeksploitasi buruh melalui sistem
kerja berbasis jam kerja dan borongan disertai dengan denda.

Dalam topik tulisan yang berjudul “Perampasan Tanah dan Krisis di Tanah Malind”, Muntaza sebagai penulis menuturkan bahwa penguasaan tanah dalam hidup orang Malind dipusatkan pada laki-laki. Dikarenakan dalam suku Malind dikenal sistem patrilineal atau
garis keturunan laki-laki. Dalam adat orang Malind, pihak perempuan tidak punya hak “buang suara”. Dipertegas lagi oleh penulis bahwa ada dua kategori hak dalam orang Malind: Pertama, hak milik merupakan keistimewaan yang hanya diturunkan kepada marga
laki-laki sehingga tanah menjadi kepemilikan laki-laki; Kedua, hak pakai yang dalam pengaturan penguasaan tanah, perempuan hanya mempunyai hak pakai (berkebun, memetik, memancing ikan) bukan hak kepemilikan. Ini tentu menjadi sesuatu yang terbalik
dari filosofi tanah oleh orang Malind yang direpresentasikan sebagai “mama” atau “rahim ibu”. Representasi tersebut dimaksudkan hanya pada aspek reproduksi bukan kepemilikan tanah.

Menurut saya ulasan ini sangat menarik. Akan tetapi juga mengecewakan karena sistem ini menjadi sebuah cara yang sangat mempermudah pihak kapitalis untuk melakukan penguasaan tanah secara sistematis. Dimana pada dasarnya penguasaan tanah dikaitkan dengan “kemaskulinan” yang identik sama laki-laki. Para korporasi ternama seperti PT.Sulawesi Mining Investment (SMI), dan PT. Central Omega Resources Tbk menjadi pemain utama yang sudah cukup lama menguasai ruang dalam skala yang luas.

Kelebihan buku ini, bahwa penulis dalam ulasannya secara sistematis menerangkan krisis sosial ekologis yang terjadi. Misalnya dalam ulasan “Booming Pertambangan Nikel, Perampasan Tanah dan Kondisi Kelas Pekerja di Morowali Sulawesi Tengah”, oleh Andika.Penulis mampu menjelaskan dengan detail mekanisme-mekanisme perampasan tanah, seperti pemiskinan dan relokasi petani, pemagaran laut, pencemaran dan penyingkiran nelayan, penggunaan aparatus kekerasan negara, perampasan melalui negosiasi ganti-rugi, pembentukan kelas pekerja yang membuat tingkat eksploitasi pekerja semakin meningkat dan masih banyak lagi.

Banyak hal menarik lainnya yang ada dalam ulasan buku ini, salah satunya tulisan berjudul “Relasi Kuasa Pertambangan Mangan di Nusa Tenggara Timur”, oleh Torry Kuswardono. Penguasan tanah oleh para kapital di daerah ini justru berbeda dengan daerah-daerah lain. Di sana tidak terjadi perampasan tanah yang menimbulkan sengketa terbuka. Perubahan nilai atas lahan dan sumber daya tidak disertai dengan perampasan hak milik perorangan atau komunitas terhadap tanah. Akan tetapi perusahaan tambang justru bekerja sama dengan para “tuan tanah” yang secara turun-temurun memiliki hak “menguasai” hamparan dan segala isinya.

Hal di atas sebenarnya telah mengingatkan saya dan pembaca lainnya bahwa sistem “penguasaan tanah” sudah ada sejak dulu. Bukan hanya dilakukan oleh orang luar, melainkan juga terjadi di tingkat lokal seperti masyarakat adat. Kemudian tulisan ini juga membawa kita kepada pemahaman, bahwa “penguasaan tanah” bukan hanya sekedar untuk alih fungsi lahan menjadi tambang atau perkebunan. Penguasaan lahan sederhananya adalah salah satu bentuk bahwa memiliki tanah yang luas merupakan orang yang memiliki kekuasaan.

Kita akan menemukan bentuk kasus krisis sosial ekologis yang berbeda dalam buku ini, namun pada intinya tetap bahwa “penguasaan tanah” telah berhasil dilakukan oleh para kapital yang dampaknya adalah pemiskinan rakyat. Dan pada intinya buku MP3EI hanya untuk memperluas proyek-proyek para kapital.