Review Buku
PANGGILAN TANAH AIR
Penulis : Laksmi A. Savitri
Penerbit : INSISTPress
Tahun terbit ` : 2013
Jumlah Halaman : 110
Pereview : Kasmoini
Kata Kunci : Pembangunan dan Kemajuan
Buku korporasi dan politik perampasan tanah ini karya Laksmi A. Savitri, buku ini memberikan potret riil dan data akurat dengan bubuhan analisis yang tajam. Buku tersebut merupakan buah pikir yang dipadu oleh kerja kolaborasi peneliti, pendidikan kritis, dan pembuatan film dalam pendidikan dan juga merupakan media kampanye yang dilakukan oleh empat institusi yaitu Sekretariat untuk Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Meurauke (SKP-KAM), Sajagyo Institute, Indonesian Society For Social Transformation (INSIST), Komunitas Perfilman Intelektual (Kopi).
Buku ini hadir akan karya etnografi yang menyajikan temuan-temuan didelapan kampung di wilayah selatan Papua yaitu Meurauke. Dalam buku ini juga penulis menceritakan secara mendalam menganai suku Anim Ha atau Manusia Sejati,dengan empat marga yaitu: (Gebze, Kaize, Mahuze, Basik-basik). Buku ini juga memadukan seluruh aspek kemanusian Marind Anim secara seimbang dalam konteks rencana pembangunan pemerintah (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Dalam buku ini ada membahasa beberapa periode yang di ulas baik oleh sipenulis:
1. Periode sejarah Suku
Bagian sejarah penulis menceritakan asal usul moyang dari suku yang masih hidup dengan budaya mangayau, berpakaian cawat dan tempurung kelapa. Perempuan dan laki-laki hidup terpisah terkecuali jika mereka sudah dikawinkan, sumber makanan pokok mereka adalah sagu, serta berburu babi hutan dan binatang lainnya, bercocok tanam dan berburu dengan alat-alat tradisional;
2. Periode Merauke
Pada periode ini dikenal sebagai preiode misionaris dan pemerintah Belanda. Pada tahun 1915 seorang Pastor Petrus Partante dari Biak, di sinilah mereka didorong untuk menyatukan beberapa sub suku untuk membentuk suatu kampung yang bertujuan untuk menghilangkan budaya mengayau. Pada tahun 1923 sudah mulai dibangun sekolah-sekolah. Sekolah tersebut disebut sebagai sekolah buta huruf yang mengajarkan tentang baca dan tulis. Pada awal tahun 1965, sekolah tersebut sudah mulai berjalan dan guru nya yang mengajar didatang kan dari kei.Sekolah yang didirrkannya yaitu Sekolah Dasar YPK (Kristen) dan YPPK (khatolik) yang kemudian dijadikan satu sekolah. Pada tahun 1940-1950-an orang Zenegi baru mengenal budaya melayu, yang ditandai dengan pakaian, lampu petromaks dan lampu minyak. Merekapun menggunakan dua bahasa sebagai bahasa kesehariannya.
3. Periode Indonesia NKRI
Pada masa ini mereka masih harus berpindah-pindah karena kemarau panjang, di tahun 1972 pertama kalinya memilih kepala kampung dalam konteks administrasi pemerintah NKRI. Dari beberapa Kampung Zanegi, Baad, Wayau dan Koa diberilah nama Desa Anim Ha, pada masa peralihan ini sangat dirasakan oleh warga karena papare (peristiwa penentuan pendapat rakyat) yang mengakibatkan warga berceraiberai pada masa tersebut. Pada masa ini kedua kampung akhirnya menetap dan mulai memiliki struktur pemerintah selain ketua adat dan juga kepala suku.
4. Periode Transmigrasi dan Bantuan (Orde Baru)
Pada tahun ini masyarat Zanegi ini mengalami penggusuran (1983-1984). Pada saat itu masyarakat digusur tanpa penjelasan, mereka pun hanya diberi kan uang sebesar Rp. 90.000 per kepala keluarga. Periode ini juga ditandai dengan masuknya berbagai macam bantuan. Seperti tahun 1990-an masuk bantuan pembangunan Desa (Bangdes), Impres Desa Tertinggal (IDT) dan ABRI masuk Desa (AMD).
5. Periode Bupati Gebze (Reformasi)
Pada tahun 2000 kampung Zanegi mendapatkan bantuan rumah dan untuk pertama kalinya juga kabupaten meurauke memiliki Bupati orang Papua asali yaitu Jhon Gluba Gebze, pada masa kepemerintahannya mulai muncul Program Perbaikan kampong (PPK). Yang memberikan bantuan berupa beras dan pembangunan sumur saluran air dan pengembangan kelompok usaha. Pada masa bupati ini juga awal mula penanaman palawija dari dinas pertanian yang saat itu kerja sama dengan PT. Agrindo. Dalam penanaman ini mereka gagal dan kemudian diberikan traktor dan beras 2 ton untuk untuk mereka yang bekerja diareal percontohan.
6. Periode MIFEE
Dalam kurun waktu yang berdekatan dari 2005 hingga 2007-2008 di Zanegi dan Domande mulailah proses sosialisasi masuknya perusahaan yaitu Medco dan Rajawali. Grup Medco beroperasi di wilayah Kali Bian melalui dua anak perusahaan yaitu PT. Selaras Inti Semesta yang memengang izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Nomor 18/Menhut-II/2009 dengan total luas 169.400 Hektar dan PT.Medco Papua Industri Lestari yang memusatkan di Buepe dengan total areal 2.800 hektar untuk pengembangan Industry Wood Chips dan Wood Pellet, 2009 sudah lebih dari 3.000 hektar hutan ditebang.
Sedangkan Group Rajawali memegang izin lokasi untuk usaha perkebunan tebu seluas 7. 500 hektar di Distrik Marind dan Kurik atas nama dua anak perusaan, yaitu PT. Cendrawasi Jaya Mandiri dan PT. Karya Bumi Papua.
Tahun 2010 disepakati oleh seluruh ketua dari tujuh marga untuk memperbolehkan perusahaan beroperasi dengan beberapa kesepakatan. Pada saat itu dibangun sebuah tegu yang bertuliskan 10 janji perusahaan yang tidak kunjung dilaksanakannya. Pergeseran budaya yang antara lain ditandai oleh hadirnya berbagai fasilitas kehidupan modern. Alam yang secara lebih spesifik masih menjadi pijakan sistem kehidupan.
Di bagian ini lah penulis menceritakan soal kerja produksi petani menjadi kerja korporasi, sebagai mana kita ketahui bahwa sebelum kerja korporasi ini berlanjut Indonesia telah lebih dulu menyandang sebagai penerapan revolusi hijau dan diesploitasi melalui tanam paksa. Ketika peradaban, diikuti oleh modernisasi, sebagai cara satu-satunya menuju pencerahan, maka dua kata kunci selalu dijadiakn jalan untuk keluar dari kegelapan, yakni pembangunan dan kemajuan. Tetapi, kemana arah kemajuan? Maju merayakan kehidupan atau mundur membentur matinya kemanusiaan?
Pada tahun 2010 juga, pemerintah Indonesia merencanakan program Meurauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Proyek ini merupakan konsorsium usaha swasta yang melibatkan perusahaan dari lima Negara, ragam pendapat tentang dampak yang ditimbulkan baik secara sosial maupun ekologis, apa pun akibat yang ditimbulkan dari kerusakan yang dilakukan oleh MIFEE di meurake belum berhenti.
Dalam buku ini saya menemukan beberapa problem yang dihadapi oleh masyarakat Papua atas sebuah program yang dianggap sebuah kemajuan kolaborasi perusahaan dengan pemerintah.Kehadiran Meurauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang merupakan bagian dan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pemerintah menghadirkan MIFEE, sepertinya bukan hanya swasembada beras sahaja tetapi secara progresif pemanfaatan peluang pasar yang dianggap membantu pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan kemajuan perkembangan Indonesia itu sendiri.
Aceh dan Papua juga merupakan wilayah-wilayah yang mengalami konflik berkepanjangan. Sehingga tidak menutup kemungkinan semua konflik yang ada di Papua tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Aceh. Misalnya berkaitan dengan politik perang dingin antara GAM dan TNI yang secara kasat mata tidak terlihat. Tetapi, politik dalam bentuk apa pun masih terus dimainkan, begitu juga dengan Papua.Jika krisis ini masih terus berlanjut mereka alami tanpa ada penanganan dan pemahaman dari si pemilik tanah dan lahan. Maka akan sulit bagi mereka untuk kembali hidup sesuai dengan konteks kehidupan mereka yang sebelumnya dan sangat tergantung dengan tanah dan alam.
Pesan dari penulis buku ini adalah: ”Saudara-saudara, mama-mama, kakak-kakak, adik-adik, bapak-bapak, jangan jual tanah untuk perusahaan. Kasihan, itu milik kalian dan anak cucu dimasa mendatang” yang sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia