Ahli gizi dari Kabupaten Garut, Jawa Barat, Susi Astuti, mengatakan, kesadaran gizi masyarakat terutama pada generasi muda memprihatinkan. Dia merujuk hasil penelitian, bahwa 70 persen mahasiswa tidak memperhatikan kandungan gizi saat mengkonsumsi makanan.
Bahkan, menurut Susi, 50,8 persen mahasiswa secara rutin mengkonsumsi makanan siap saji. “Pada anak-anak, hanya 37 persen yang mengkonsumsi buah dan sayur setiap hari,” kata Susi dalam talkshow Revolusi Meja Makan pada Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air di Pesantren Ath Thaariq, Garut, Sabtu 15 Juli 2017.
Susi mengatakan, pola makan masyarakat cenderung tidak sehat karena lebih suka makanan siap saji, goreng-gorengan dan berpengawet. Padahal makanan-makanan tersebut mengandung banyak garam dan lemak tinggi. Bahan kimia yang dipakai sebagai pengawet, pewarna dan perasa juga berbahaya bagi tubuh.
Secara akumulasi, kandungan lemak dan garam yang tinggi akan menghambat kerja syaraf sehingga tubuh tidak sensitif terhadap lapar dan kenyang. “Makanya kita ingin makan terus karena tidak merasa kenyang. Inilah yang menyebabkan berat badan meningkat,” kata Susi.
Makanan yang tidak sehat akhirnya memicu berbagai penyakit, mulai kolesterol, gagal jantung, diabetes, asam urat hingga obesitas.
Pendiri Pesantren Ekologi Ath Thaariq, Nissa Wargadipura, mengatakan, membuat makanan bergizi sebenarnya tidak mahal. Sebab sumber pangan sehat telah disediakan oleh alam. Dia mendorong keluarga untuk memulai mengolah makanannya sendiri tanpa penyedap rasa kimia. “Banyak rempah-rempah yang tumbuh di sekitar kita sebagai bumbu,” kata Nissa.
Orang tua punya peranan besar untuk menyediakan makanan sehat untuk anak-anaknya di meja makan. Sumber pangan bisa ditanam sendiri di pekarangan rumah, seperti yang dilakukan Pesantren Ath Thaariq. “Yang terpenting adalah mengubah cara berpikir kita terlebih dahulu untuk hidup sehat,” tutur Nisa yang mendirikan pesantren ekologi tahun 2009. (IKA NINGTYAS)