Review Buku
Ekspansi Kelapa Sawit Di Asia Tenggara
Penulis : Marcus Colchester & Sophie Chao
Penerbit : Forest Peoples Programme dan Sawit Watch
Tahun terbit : 2011
Jumlah halaman : 305
Pengulas : Lina Rintis Susanti
Kata Kunci : Reorganisasi Ruang, Krisis Sosial Ekologis, perempuan
Penyingkiran Paksa, Masyarakat Adat
Reorganisasi Ruang dan Krisis Sosial Ekologis di Kawasan Pedesaan
Kelapa sawit merupakan tanaman komoditas yang menjadi sorotan banyak pihak karena saat ini menjadi primadona di pasar global untuk kebutuhan pangan, kosmetik dan bahan bakar. Karenanya, di Indonesia, investasi terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit semakin besar, bahkan didukung oleh kebijakan negara yang ramah terhadap perusahaan dalam menyediakan tanah negara. Persoalannya, perluasan perkebunan kelapa sawit telah mengkonversi secara besar-besaran kawasan hutan primer, konservasi, dan kawasan pertanian subsisten yang ada di dalamnya.
Konversi ini lah yang disebut dengan reorganisasi ruang, dan berdampak merusak ekosistem, mengeringkan rawa gambut, menghilangkan spesies langka, mengotori udara dan air, serta merampas lahan milik masyarakat lokal dan masyarakat adat. Merusak lingkungan akibat dari praktik pertanian yang tidak berkelanjutan dan di lokasi yang tidak seharusnya, merampas lahan dan hak-hak masyarakat lokal akibat rancu dalam menilai tanah dan persyaratan sewa tanah yang diajukan perusahaan pada masyarakat lokal.
Melalui buku ini, Colchester dan Chao berusaha mengkonsolidasikan data-data dan informasi mengenai dampak destruktif dari perluasan perkebunan kelapa sawit di beberapa negara di Asia Tenggara, baik terhadap kondisi lingkungan maupun kondisi masyarakat lokal/adat yang tinggal di sekitarnya. Colchester dan Chao mencari apakah memang dampak destruktif tersebut sudah merupakan nature dari perluasan perkebunan kelapa sawit, dan apakah terdapat pembelajaran yang bisa diambil dari negaranegara lain di Asia Tenggara untuk dapat mengurangi dampak negatif yang dirasakan masyarakat lokal/petani kecil yang terlibat dalam industri sawit.
Dampak Berganda terhadap Perempuan
Perluasan perkebunan kelapa sawit terjadi melalui perampasan lahan dan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat. Masyarakat lokal yang tadinya bergantung penghidupannya pada lahan pertanian untuk kebutuhan pangan keluarganya, kini mereka direkrut sebagai buruh tani yang bekerja untuk perusahaan kelapa sawit. Lahan kecil yang mereka miliki telah dijual atau disewa tanpa batas waktu yang jelas kepada perusahaan, dan sekarang mereka lebih bergantung pada uang upah untuk dapat bertahan hidup, disamping ketahanan pangan mereka semakin melemah. Dengan fluktuasi harga CPO (minyak sawit mentah) di pasar internasional, keterbatasan modal dan uang cash, para petani kecil rentan terjerat dalam hutang.
Hal ini berdampak lebih besar dan signifikan terhadap perempuan (buruh perkebunan perempuan). Pertama, laki-laki cenderung menerima dan mengontrol pendapatan tunai, sehingga perempuan kesulitan mengakses uang tunai tersebut. Kedua, hak perempuan untuk mewarisi tanah telah dipersempit oleh sistem ‘kepala rumah tangga’ dalam pendaftaran bidang tanah/kapling petani kecil, seperti halnya yang terjadi pada masyarakat adat di Kalimantan Barat. Hal ini membuat posisi perempuan dalam pengambilan keputusan semakin rendah dan mempersempit kesempatan perempuan untuk dapat menerima upahnya sendiri. Dampak yang serupa juga terjadi kepada perempuan di Filipina. Sertifikasi kolektif tenah kepada koperasi telah melemahkan posisi perempuan dalam pengambilan keputusan dan menyebabkan pengucilan mereka dari kesempatan kerja.
Ketiga, kondisi kerja buruh perkebunan perempuan yang tidak mematuhi standar keselamatan kerja. Kebanyakan buruh perkebunan perempuan bekerja di bagian penyemprot pestisida dan pupuk. Setiap hari mereka menghadapi bahaya kesehatan akibat terpapar zat-zat kimiawi berbahaya. Nyaris tidak ada pelatihan penggunaan bahan kimia secara aman, fasilitas medis yang buruk, kurangnya peralatan perlindungan yang dibutuhkan, lemahnya implementasi regulasi keselamatan kerja.
Keempat, akibat tekanan pada perempuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, meskipun telah terjadi konversi lahan pertanian tradisional menjadi lahan perkebunan sawit, memaksa mereka mencari sumber pendapatan alternatif, yakni sebagai pekerja migran. Seperti yang ditemukan di Kamboja, Indonesia, PNG, dan Filipina, prostitusi dilaporkan terus meningkat di sekitar area yang mengalami konversi lahan besar-besaran menjadi perkebunan kelapa sawit. Selain menyebabkan prevalensi HIV/AIDS semakin meningkat, juga meningkatkan penyakit menular seksual lainnya di kalangan buruh pekerja perempuan.
Dampak-dampak yang dihadapi oleh perempuan tersebut menghimpit mereka dari segala penjuru. Sementara, pengalaman-pengalaman perempuan tidak pernah dirujuk dan diakui sebagai fakta sosial yang valid ditengah tatanan sosial yang patriarkal. Krisis sosial ekologis tersebut telah memaksa perempuan beradaptasi terhadap perubahan ekonomi pertanian tradisional menjadi ekonomi uang upahan. Krisis sosial ekologis tersebut juga telah memangkas hak-hak perempuan atas properti ditengah tatanan sosial yang patriarkal (dengan sistem ‘kepala rumah tangga’) sehingga terpangkas pula posisi tawarnya dalam proses pengambilan keputusan dan kesempatan mendapatkan pekerjaan upahan. Ditengah keterpaksaannya mengikuti arus larut dalam ekonomi uang, kondisi ketenagakerjaan perempuan di perusahaan sawit juga tidak memberikan perlindungan yang memadai atas kesehatan dan hak-haknya. Sementara secara sosial, tekanan masyarakat terhadap perempuan untuk menjalankan fungsi reproduksi sosialnya (memenuhi kebutuhan keluarga) ditengah kondisi yang serba terbatas memaksa perempuan mencari sumber pendapatan alternatif yang beresiko (prostitusi misalnya).
Penyingkiran secara paksa terhadap masyarakat lokal/adat, dan khususnya perempuan, inilah yang kemudian dijelaskan oleh Zaskia Sassen dalam bukunya sebagai logika expulsion yang inheren dan semakin meningkat skalanya hingga pada sistem ekonomi global. Sebagai contoh kasus, setelah krisis ekonomi kembali melanda fondasi ekonomi Indonesia pada tahun 2008, Indonesia dinyatakan telah menunjukkan tanda-tanda pulih dan semakin bertumbuh perekonomiannya oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Pertumbuhan ekonomi yang didapat dari hasil meluasnya industri minyak sawit, tidak dipandang bermasalah sekalipun faktanya telah menyingkirkan secara paksa masyarakatmasyarakat adat/lokal, dan terutama perempuan. Seperti dijelaskan oleh Zaskia Sassen, pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada program-program SAP (structural adjustment programme) sesungguhnya telah semakin menyebabkan social collapse. Pertumbuhan ekonomi yang nampak pada sistem ekonomi global (yang ditunjukkan dengan segala indikator-indikator ekonomi yang kompleks) dan ditunjukkan juga oleh (seolah-seolah) semakin terbukanya kesempatan kerja bagi kelompokkelompok, justru sesungguhnya rapuh, karena telah mengeksklusi secara besar-besaran dan tanpa ampun beberapa kelompok yang lemah (pekerja rendahan, masyarakat lokal dan UKM-UKM), yang posisinya justru sangat penting dalam menunjang bertumbuh kembangnya perekonomian, dan dalam konteks lingkungan penting sebagai pelindung dan pemelihara keberlanjutan lingkungan.
Kesimpulan
Ekspansi/perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia terjadi secara besar-besaran karena memang terdapat peluang untuk melakukan itu. Berdasarkan perbandingan pengalaman dari beberapa negara di Asia Tenggara, tanah petani kecil dan masyarakat adat di Indonesia tidak terlindungi oleh aturan hukum yang tegas. Petani kecil tidak dapat lagi bebas menanami lahannya sendiri, selain itu tidak memiliki modal yang cukup untuk dapat melakukan penanaman yang menguntungkan (pendapatan maupun keadilan). Di Indonesia, pabrik pengolahan kelapa sawit kurang berkembang dibandingkan perkebunannya, dan pola ketenagakerjaan di perkebunan kelapa sawit melemahkan posisi para petani kecil sebagai pihak penanam, dan tanpa jaminan kerja yang mencukupi.
Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit yang merampas lahan hak milik masyarakat lokal menimbulkan konflik sosial yang tiada berujung antara masyarakat lokal dan perusahaan. Akar persoalan tersebut tidak difasilitasi penyelesaiannya oleh negara. Negara sebatas menyediakan kebijakan resolusi konflik yang bersifat formalitas dan dengan pendekatan yang formalistik terhadap sistem kepemilikan tanah, bahkan berpotensi merepresi kembali suara-suara masyarakat adat yang terusir dari lahannya. Penghormatan terhadap lahan dan hak-hak masyarakat lokal/adat tetap tak terselesaikan. Di lain sisi, penegakan hukum dan pengawasan atas pemberian izin pembukaan lahan di kawasan hutan primer dan konservasi juga masih lemah.
Kerugian lingkungan dan sosial yang sedemikian besarnya menjadi ongkos dari prioritas negara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi melalui perdagangan (ekspor-impor) minyak sawit di pasar dunia. Negara memfasilitasi masuknya perusahaan-perusahaan kelapa sawit ke kawasan yang seharusnya dilindungi dengan membiarkan kebijakan-kebijakan dan implementasi yang kurang ketat di bidang kehutanan dan perkebunan. Begitu juga dengan kebijakan di bidang perbankan yang kurang ketat dalam mengaudit para nasabahnya (perusahaan kelapa sawit skala besar) yang tidak patuh pada peraturan.