Siti Aisyah menjadi saksi bagaimana kapal raksasa milik PT. Boskalis Internasional Belanda menambang dan menghancurkan ekosistem bawah laut Bonemalonjo. Kapal Queen of the Netherlands memiliki kapasitas 33.423 Gross Ton (GT) mulai menambang pasir laut di Bonemalonjo sejak 13 Februari 2020. Pasir laut ini dipakai untuk reklamasi Makassar New Port (MNP) tahap II seluas 1.428 ha yang direncanakan tuntas pada 2025.

Tambang pasir sangat berdampak terhadap kehidupan masyarakat Pulau Kodingareng, Makassar, Sulawesi Selatan. Dampak penambangan sangat buruk bagi masyarakat pesisir. Ketika terumbu karang rusak, maka ikan akan berpindah tempat, dan nelayan susah mendapatkan ikan sehingga membuat keadaan ekonomi menjadi buruk.

Tambang Pasir Laut Berdampak Pada Ekonomi Keluarga Nelayan

Perempuan nelayan, meskipun tidak semuanya menangkap ikan di laut, tetapi mereka bagian dari rerantai dalam daur penangkapan ikan dan paling terdampak oleh tambang Boskalis. Sebab perempuan yang mengontrol perekonomian rumah tangga. Sebelum ada aktivitas penambangan di wilayah tangkap nelayan kodingareng, para perempuan nelayan bisa menabung lewat arisan nelayan. Mereka juga memiliki tradisi menyimpan uang secara kolektif. Misalnya, setiap ada hasil tangkapan laut mencapai Rp 1 juta, maka sebesar Rp 100 ribu akan masuk tabungan kolektif. Tabungan ini sangat dibutuhkan saat laut memasuki musim angin kencang, ketika nelayan tidak bisa melaut, maka kebutuhan sehari-hari bisa diambil dari tabungan tersebut. Tetapi semenjak ada penambangan pasir laut, tidak ada lagi yang mengikuti arisan. Sebelumnya, mereka bisa sampai 3 kali dalam sebulan ke Makassar untuk belanja. “Sekarang, uang belanja sehari-hari untuk makan saja susah, utang pun menumpuk”, ujar…….

“Banyak anak-anak yang terancam putus sekolah, karena kami tidak mampu lagi membayar biaya sekolah mereka. Untuk makan sehari-hari saja kami sudah susah. Jika kami tidak mendapatkan hasil apa-apa, maka kami akan mengutang di warung untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.”

Ketika nelayan akan turun melaut, mereka memerlukan biaya untuk bahan bakar minyak (BBM), kopi, roti, dan kue, karena berangkatnya setelah sholat subuh sampai maghrib, kadang-kadang isya, jadi mereka harus membawa bekal. Jika pulang dari melaut tidak mendapatkan hasil apa-apa, berarti perempuan-perempuan Kodingareng terpaksa mengutang lagi di warung. Ditambah lagi pandemi covid19 menambah krisis yang dirasakan.

Bagaimana Strategi Perempuan Melawan?

Laut seperti Ibu kandung bagi nelayan, laut juga sebagai sumber mata pencaharian yang harus dijaga, bukan dirusak. Siti Aisyah menuturkan bagaimana perempuan kodingareng menjadi garda terdepan dalam melawan perusahaan penambang pasir laut. Biasanya, apabila perempuan yang berada di depan, akan kecil kemungkinan aparat kepolisian melakukan kekerasan. Selain itu, perempuan yang juga akrab disapa ibu Ros ini menyebutkan “perempuan juga sebagai simbol kekuatan dunia”.

Saat ini perempuan pesisir, membentuk kelompok usaha perempuan yang memproduksi abon dari ikan. Meski hasilnya tidak terlalu banyak, setidaknya keuntungannya bisa dibagi agar bisa meringankan beban ekonomi keluarga.

Informasi Terkait:

JATAM, Kronologi Penolakan dan Tuntutan Penghentian Pertambangan PT. Boskalis

Fajar Pebianto, Alasan Warga Kodingareng menolak pertambangan PT. Boskalis

Dwi Bowo Raharjo dan Erick Tanjung, Warga Kodingareng mendesak PT. Boskalis ditutup

Kompas TV Makassar, Aksi Protes Perempuan Kodingareng menuntut PT. Boskalis

Kompas.com, Fakta tersembunyi pemberian izin terhadap PT. Boskalis

Wahyu Chandra, Update tentang perlawanan perempuan kodingareng