Oleh Haris Retno, Adjie, Voni, Sarah, Abil dan mai Jebing
Sebelum bertemu akhir Februari 2021, kolektif janjian biki puisi bebas untuk merayakan menjadi perempuan, bersama perempuan, termasuk merayakan siapapun – termasuk laki-laki yang mendukung perjuangan hak-hak perempuan dan penyelamatan alam. Kami menutup ceita dengan membaca puisi. Selamat menjadi perempuan.
Di Tanah ini
Tangan Rakus Kuasa
Tak Peduli Izin
Pejabat berpaling pura-pura Buta
Aparat …Pura-pura tuli
Di Tanah Ini
Deru menderu
Asap-asap truk membumbung
Batubara dikeruk
Batubara diangkut
Anak-anak mati…tak peduli
Air Tercemar tak diurusi
Di tanah ini
Haris Retno. Marangkayu, 28 Feb 2021
***
Terang Gelap Karang Tunggal
Pada pukul 22.25
Kulintasi jalanan desa ini
Dinginnya malam
hingga ke tulang-tulang
Jalanan diselimuti gelap
Tak ada lampu, tak ada bulan penerang jalan
Seketika khawatir di dekat kuburan
Lihat seberkas cahaya di balik bukit menarik perhatian
Kutengok segala penjuru
Cuma sunyi
Adakah setan mendekat?
Terdengar suara gemuruh mesin, diselingi
lolongan klakson
rupanya truk yang mendekat mengangkut material tanah dari gunung yang dikupas
(Entah berapa gunung lagi yang akan rata)
(Berapa banyak pohon lagi yang akan tumbang)
Sunyi pemukiman desa
Anjing-anjing berkeliaran
Menggonggongiku yang melintas
Seberkas cahaya itu kembali terlihat
“Itu cahaya malapetaka”. batinku
(Entah berapa gunung lagi yang akan rata)
(Berapa banyak pohon lagi yang akan tumbang)
Oh Tuhan,
Engkau ciptakan emas hitam
di dalam gunung-gunung,
di bawah akar pohon-pohon,
tapi manusia rakus menciptakan penindasan
Kepada siapa aku harus mengadu Tuhan?
kalau Engkau tak menjawab doaku
(Entah berapa gunung lagi yang akan rata)
(Berapa banyak pohon lagi yang akan tumbang)
Tanah desa mulai dikuasai
orang-orang rakus mencari emas hitam
Akankan desa ini kelak tinggal kenangan?
Seperti potret tua buram dimakan usia
Lelah menyergapku, dan tertidur
seperti warga desa yang tak tahu-menah
Ketika pagi kembali
Kenyataan menghampiri
Kulewati kuburan desa yang dikelilingi mesin-mesin raksasa, mengoyak-ngoyak tanah, mencari emas hitam
(Entah berapa gunung lagi yang akan rata)
(Berapa banyak pohon lagi yang akan tumbang)
“Tuhan, Engkau ada di mana?”
Tuhan ada di hutan.
Hutan tak ada lagi
Adjie Valeria, Kutai Kartanegara, September 2020
***
Ibu bumi sedang sakit
Tubuhnya nyeri Karena di keruk
Badanya Panas terbakar
Aku ingin ibu bumi sembuh
Dan tak ada yg melukainya lagi
Dia terlalu baik
Sehingga manusia-manusia serakah itu
Tak henti menggeranyanginya
Aku ingin ibu bumi pulih
Ceria lagi….
Jakarta, 28 Feb 2021 by Voni Novita
***
Di waktu tertentu
Sudilah kita bertanya pada pohon, rumput, cacing dan bebungaan.
Sudilah kiranya kita juga mendengarkan mereka, makhluk selain kita “Manusia”,
Bahkan sudulilah kita mendengar tutur dari debu, dia pun fasih.
Bahkan lebih fasih daripada Puan.
Terberkatilah kita yang melihat bisa melihat hutan dan sungai,
Sebagian bagian yang hidup bukan yang mati,
sebagai bagian penghuni bukan pelengkap
Terberkatilah kita melihat bumi ini sebagai rumah semu mahkluk bukan hanya manusia.
Di waktu tertentu,
Sesekali berterimakasihlah pada tanah dan air, berkatnya kita bisa bertemu.
Sarah Agustio, Samarinda, 2 Maret 2021
***
Ekofeminis Tanah Air
Seperti hutan yang berlapis dan berwarna
Seperti sungai yang mengajakmu bermain, dan tenggelam sesekali
Seperti udara yang membagimu napas
Seperti tanah yang membuatmu berpijak
Ia melampaui gunung kokoh yang berdiri tegak
Melampaui samudera biru tak bertepi
dan batas-batas artifisial yang menghalangi kita semua
Ia adalah wujud cinta bagi semesta yang tak pernah cukup digambarkan oleh kata-kata, menghubungkan tiap jiwa lewat deru angin, cerita tanah dan nyanyian air.
Mai Jebing, Passau & Salsabilla Khairunnissa, Jakarta 28 Februari 2021
(Selesai)