Pandu Tanah Air

 

Oleh:
Noer Fauzi Rachman

——————————————————————————————————————-

Tanah Air

Nomina. WARGANEGARA, tanah air: ibu pertiwi, negeri, nusa, tanah kelahiran, tanah tumpah darah, watan

Verba. PEMBELAAN, bela bangsa, bela negara, bela tanah air

Sumber: http://tesaurus.kemdikbud.go.id/tematis/lema/tanah%20air | Tesaurus Tematis Bahasa Indonesia – Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

——————————————————————————————————————-

Tiap-tiap tanah air selalu merupakan tempat lahir yang membentuk muatan emosi dan lokasi identifikasi diri rakyat pada suatu tempat kelahiran. Tanah air membawa kita pada urusan hidup dan mati bisa bertaruh nyawa kita memperjuangkan tanah air kita. Tanah air tumpah darah.  Hubungan rakyat dengan tanah airnya adalah seperti ikatan dengan tali pusar, ikatan tanah kelahiran, tak tergantikan. Tanah air yang selalu punya kekuatan memangil. Tidak ada kekuatan lain yang memiliki panggilan sekuat tanah air.

Tanah air punya banyak bentuk cara memanggil, termasuk dalam bentuk syair dan lagu. Ingatkah pada lirik lagu  Tanah Airku dari Sarijah Niung, yang lebih terkenal dengan nama Ibu Sud.

Tanah air ku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidakkan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai

Walaupun banyak negeri kujalani
yang mahsyur permai di kata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Disanalah ku rasa senang
Tanah ku tak kulupakan
Engkau kubanggakan

Ingatkah pula lagu Indonesia Pusaka karya pujangga Ismail Marzuki?

Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap di puja-puja bangsa

Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata

Sungguh indah tanah air beta
Tiada bandingnya di dunia
Karya indah Tuhan Maha Kuasa
Bagi bangsa yang memujanya

Indonesia ibu pertiwi
Kau kupuja kau kukasihi
Tenagaku bahkan pun jiwaku
Kepadamu rela kuberi

Kami pernah mengumpulkan istilah-istilah dari berbagai bahasa untuk tanah air, dalam percakapan bersama dengan 13 Pelajar “Studi Agraria dan Pemberdayaan Perempuan“, Sajogyo Institute, di Bogor, pada sekitar awal tahun 2016. Mereka berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Di Aceh, ada istilah  trimeng geunesah  yang merupakan ungkapan pendek dari nangroe atau negeri. Nangroe atau negeri merupakan narasi “tanah air” dalam gambaran besar, sementara gampung adalah tanah air dalam lingkup kecil di Aceh Utara.

Di Tidore ada istilah kie se gama malinga. Kie segam menggambarkan tanah air yang paling umum dalam bahasa Tidore. Kie artinya gunung, gam itu kampung = tanah air. Ada peribahasa, sari-sari ahu ma, kie segama to sadia, yaya seba tosoninga jou koma, fio raosito. Artinya perjalanan hidup yang berliku, tanah airku tinggalkan, ibu bapak ku kenangkan wahai, kapankah akan kembali. Adapula peribahasa Dodomi ma gonyihi. Artinya tempat tali pusar, tempat kelahiran, seperti dalam ungkapan “Gammalamo se oti maside yo so nou dodokmi mgonyihi taogi-togi geno koliho, raro kie se gam dodomi ma goniyhi.” Artinya tanah di kampung dan layar-layar perahu, menaungi kampong halaman kami, walau kau pergi, wahai anakku pulanglah dan lihatlah tanah airmu, tempat tali pusarmu terkubur.

Di Tarutung ada istilah bona pasongit  dari bona pasogit nauli dang boi taelumpahon. Bona adalah akar akar dari sebuah tumbuhan, minat merantau sangat besar dan tujuannya untuk kembali ke kampung setelah sukses, niat pulang kampung kita sangat besar. Bona bermakna cinta terhadap kampung halamanya.Pasogit tanah kelahiran, tempat yang lahir tidak melupakan kampung disini lahir dan mendapat pengetahuan “Akan kembali ke tanah air. Artinya tanah air tanah kelahiran yang indah tidak bisa dilupakan.

Huta Hutubuan. Mulak tu hua hatubuan masihol, artinya  kita yang lahir tidak melupakan kampung kita. Mereka yang pergi dari tanah airnya, selalu punya usaha untuk pulang, berusaha tidak berdiam diri, punya perbuatan kembali ke tanah air. Itu mudah diwujudkan begitu dipanggil, maka dia akan kembali .

Di Tojo Una-Una, dalam bahasa Ta’a ada istilah lipu bermakna tanah air, seperti dalam cerita jaman kerajaan adanya benteng penjagaan dan di setiap rumah-penduduk  ada tertulis ungkapan “lipu tau boros kampong kita biar kampong semua suku ada didalamnya ramah-damai“. Lipu tahu boros artinya boros kampung kita.

Di Manado ada istilah kita pe kampung, artinya kampung kita. Sedangkan orang dari suku Minahasa menggunakan bahasa Tongsea. Bahasa ini sudah jarang digunakan, dan sudah sangat sedikit yang menggunakan.  Ada istilah Makatana Kawanua untuk pengertian tanah air. Makatana torang punya bahasa.

Di Sulawesi ada beberapa suku, dengan bahasa masing-masing. Dalam falsafah orang Bugis Makasar ada istilah: siri Na pace Makasar, siri Na pesse bugis. Dalam bahasa Tondok, ada istilah Sule dio tondoku,  atau pulang ke kampungku. Ada istilah  Siri Napacce”. Siri artinya malu. Pacce artinya pese pedih-perih kokoh dan kuat, siapapun menggangu merampas hak-hak orang Makasar, maka akan dilawan sampai darah penghabisan. Falsafah hidupnya adalah mempertahankan hidup dan hak miliknya.

Istilah “pandu tanah air” dipakai disini dengan maksud menunjuk pada tanda-tanda, petunjuk-petunjuk, hingga alat-alat  untuk menyadari adanya kemelut-kemelut yang dialami rakyat di seantero lokasi tanah air kepulauan Nusantara sebagai akibat dari  peralihan kendali penguasaan (kontrol) dan kepemilikan tanah, sumber daya alam, dan wilayah hidup dari rakyat setempat ke perusahaan-perusahaan raksasa yang berkedudukan di kota-kota metropolitan. Perusahaan-perusahaan itu membentuk cara produksi kapitalisme, yang menghasilkan barang dagangan dalam skala , dengan cara kerja yang baru. Rakyat yang hidup dalam tanah airnya masing-masing, pada mulanya adalah pemegang kendali penguasa, pemilik, pemanfaat dan penghasil berbagai barang yang berguna untuk keberlanjutan hidupnya. Barang itu bisa berupa bahan makanan, pakaian, atau permukimannya, atau barang yang bisa diperdagangkan langsung untuk peroleh uang, sebagai alat tukar.

Kedudukan rakyat yang berasal demikian itu diubah secara drastis oleh berbagai kekuatan sehingga menjadi sekedar pekerja yang mengandalkan tenaga untuk memperoleh upah dalam menggerakkan cara-cara memproduksi barang dagangan yang bernilai tukar. Keuntungan yang diperoleh berupa kekayaan uang diakumulasikan oleh elite pemilik perusahaan, baik untuk perluasan dan peningkatan kuantitas atau kualitas produksinya, membiayai usaha-usaha membentuk kondisi yang penting untuk kelangsungan produksinya, dan sebagian lain untuk hidup dalam kemewahan elite  itu.

Membicarakan kapitalisme bukanlah sesuatu topik yang baru bagi Indonesia sebagai bangsa. Naskah cara kapitalisme kolonial memporak-porandakan tanah air Indonesia sudah secara gamblang dulu ditunjukkan oleh Soekarno dalam karyanya Indonesia Menggugat (1930). Lebih lanjut, bagaimana perjuangan kemerdekaan Indonesia dimaknai sebagai arus balik menandingi kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme dapat dipelajari pada karya Tan Malaka (1925) Naar de ‘Republiek-Indonesia’ (Menudju Republik Indonesia), Mohammad Hatta (1932) Ke Arah Indonesia Merdeka, Soekarno (1933) Mentjapai Indonesia Merdeka. Berinspirasikan pada karya-karya para founding fathers (dan mothers), kita perlu memperbesar dan menguatkan panggilan tanah air untuk para pemuda-pemudi saat ini, seperti saya sendiri, Noer Fauzi Rachman, membuat buku Panggilan Tanah Air  (Yogyakarta: Insist Press, edisi ketiga, 2018).

——————————————————————————————————————-

pandu /pan.du/

n 1. penunjuk jalan; perintis jalan; 2. Mualim (di kapal); 3. Kapal penunjuk jalan (dalam pelabuhan); 4. Anggota perkumpulan pemuda yang berpakaian seragam khusus, bertujuan mendidik anggotanya supaya menjadi orang yang berkesatria, gagah berani, dan suka menolong sesama makhluk.

Sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kelima, Badan pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017. Halaman 1204

——————————————————————————————————————-

Cara bagaimana kapitalisme ini bekerja mereorganisir ruang hidup rakyat pada saat ini,  bisa dipelajari di naskah Noer Fauzi Rachman (2015), “Memahami Reorganisasi Ruang dari Politik Agraria”. Kita musti terus menerus mempelajari perubaha  cara-cara bagaimana kapitalisme memporak-porandakan tanah air. Para pemandu tanah air,  bisa memberi penjelasan situasi yang dihadapi, memberi petunjuk, dan merintis jalan  membangun kekuatan rakyat, dan memberi petunjuk cara bagaimana para lelaki-laki dan perempuan, tua dan muda, untuk berjuang menyelamatkan tanah air, menyejahterakan rakyat, memperbaiki dan memperbesar produksi dan konsumsi hidup rakyat, hingga melawan kekuatan-kekuatan perusak syarat-syarat keberlangsungan hidup dari rakyat dan tanah airnya. Rakyat harus berjuang kalau tidak mau kalah. Karena kerusakan ini menyangkut syarat-syarat keselamatan dan kesejahteraan rakyat, hingga keberlangsungan layanan tanah dan air bagi kehidupan bersama. Sebagian rakyat musti berjuang dan memilih menjadi pejuang. Memilih kata pejuang itu pun sudah dipertimbangkan secara seksama.

——————————————————————————————————————-

juang1/ju·ang/, berjuang /ber·ju·ang/

v 1 berlaga (tentang binatang yang besar-besar); berlawan: dua ekor gajah jantan ~ memperebutkan betinanya; 2 memperebutkan sesuatu dengan mengadu tenaga; berperang; berkelahi: segenap rakyat ikut serta ~ untuk mencapai kemerdekaan; 3 berlanggaran (tentang perahu, ombak, dan sebagainya); 4 berusaha sekuat tenaga tentang sesuatu; berusaha penuh dengan kesukaran dan bahaya: pihak keamanan sudah ~ membebaskan saudara itu;

Sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kelima, Badan pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017. Halaman 706.

——————————————————————————————————————-

Jadi, pejuang tanah air adalah mereka yang berjuang demi keutuhan tanah airnya.  Pandu tanah air adalah petunjuk untuk memahami situasi tanah air rakyat dahulu dan sekarang ini, untuk mengetahui dan memahami gerak langkah kekuatan yang bakal merusak keutuhan tanah air, untuk merintis perjuangan dan arah yang dituju, untuk perbaikan kondisi tanah air, hingga untuk menguatkan rakyat dan para pejuang tanah air.

 

Bandung, 26 Juli 2020